Sabtu, 19 Oktober 2019

Cerpen " Tukang"


CERPEN
 “ TUKANG “
         
Aku sekarang tersenyum melihat keadaan dunia pendidikan. “ Mengapa demikian”. Kata Pak Ngah. Cobalah dibayangkan anak didik sekarang tidak sama dengan anak didik zaman dulu. Kalau zaman dulu, anak didik dulu pandai menjaga malu. Salah satu contoh bagi orang kampung mengatakan kepada anaknya, apabila pergi ke rumah Mamaknya itu selalu ditanamkan kata yang mengandung moral yaitu, “ Pergilah ke rumah Mamakmu atau ke rumah orang tetapi harus bermalu “. Kalau orang-orang tua sekarang menyuruh anaknya  ke rumah Mamaknya tak usah bermalu. Ini menunjukkan kepada kita bahwa yang satu punya sistem malu apabila berhubungan dengan orang lain dan yang satu tidak mempunyai sistem malu. Bagi orang Melayu, malu merupakan modal dasar dalam kehidupan.
Kata aku menyetujui pendapatmu kemenakan ! Karena kalau tidak mempunyai malu lagi berarti kita sudah tergolong binatang. Sebenarnya binatang sekarang ini lebih sopan dari pada manusia. Padahal binatang hanya dengan insting. Contohnya, sebuas-buasnya harimau tidak mau menerkam orang sembarangan. Karena menangkap orang dengan tidak perhitungan maka harimau tadi akan sulit mencari makan sehari-hari. Harimau sudah menerkam orang maka tujuh lurah, tujuh bukit tidak dapat makan, akhirnya, badan harimau itu mengurus. Kalau buas manusia tak usah dibayangkan lagi, sudah dilalap ini, dilalap lagi yang lain dalam seketika itu.
Gambaran seperti itu Pak Ngah merenung karena kemenakan sangat bijak dalam mengiaskan sesuatu sehingga orang merasa terlibat dalam hal itu. “ Terus saja kemenakan cerita itu!” . Kata Pak Ngah. Aku makin asyik dengan menyindir orang. Karena dengan sindiran, orang pun ikut tersenyum padahal saya menyindir dia. Berarti betapa dangkalnya manusia menerima pesan dari orang. Tapi lucu pula, kalau disindir tak mau tetapi kalau dinyatakan terbuka tak mau pula. Ini pola pikir seperti ini sulit untuk disimak.
Mamak mau mendengar lagi, satu contoh hebat orang dulu, yaitu nabi Muhammad SAW. Dia tidak pernah sekolah tetapi Dia berpendidikan. Malah Dia dijuluki “ Al-quran berjalan “. Maksudnya perilaku nabi Muhammad SAW berbasis nilai-nilai Allah SWT atau Dia melaksanakan apa yan di kehendaki Allah SWT. Kalau kita, kehendak Allah SWT kita tinggalkan tetapi kehendak kita yang lakukan maka pasti menjadi masalah.” Contohnya, disuruh menyebut nama Allah SWT tidak bisa. Maka dituntun oleh Malaikat Jibril berulang-ulang, Dia tetap mengakui Aku bodoh, tak pandai menyebutnya. Akhirnya, dengan mengakui kebodohan atau kelemahan akan melahirkan kebahagian yang luar biasa. Tapi sekarang menyebut nama Allah SWT dalam setiap aktivitas kehidupan jarang melibatkan nama Allah SWT. Aku menengok di sekolah, pada umumnya bagi setiap mengajar jarang dalam proses belajar mengajar tidak menghubungkan dengan Allah swt tentang ilmu yang kita ajarkan itu. Contohnya, yang sederhana saja, “ Kok angka 1- 10 tersebut terseusun dengan sistematis. Jarang kita mengajak anak didik untuk menalar siapakah yang membuat angka itu ? Untuk apa angka tersebut dalam kehidupan ini Nak ? dan bagaimana cara menuliskannya Nak ?”. Apa pun di dunia ini pasti ada pengertiannya, sesudah itu pasti ada prosesnya, dan pasti ada nilai-nilainya maka inilah yang harus ditanamkan kepada anak didik kita.  Kalau pun ada, pada awal masuk saja dan waktu pulang. Padahal dalam kurikulum 2013 dituliskan pada Kompetensi Inti, “ Mengenal Tuhan “. Padahal siapa yang tidak menyebut nama Allah SWT bagi ummat Islam maka dia termasuk orang yang hina di sisi Allah SWT. Karena Allah SWT memberi petunjuk, “ Kalau engkau menjaga Aku, Aku jaga engkau dan kalau engkau sebut nama Aku, Aku sebut pula nama engkau dalam nama Aku.”
Proses ini disebabkan oleh tenaga pendidikan sudah lupa dengan pancang dasarnya sehingga lebih membanggakan baju orang lain daripada bajunya sendiri. Contohya sekarang bahasa Indonesia hampir punah oleh bahasa Inggris. Tandanya dilihat dari tulisannya, ucapannya kurang semangat menggemakan bahasa Indonesia. Tugas guru itu pada hakikatnya adalah menyampaikan kebenaran Allah SWT melalui disiplin ilmu yang diampunya. Anak didik kurang mendapat tunjuk ajar yang wajar karena guru pada umumnya kecenderungan kurang mengerti tentang konsep tunjuk ajar. “ Mau tahu Pak Ngah “ kata saya. “ Mau kemenakan!”. “ Tunjuk yang benar, ajar yang pantas. Maksudnya, yang benar itu adalah Allah SWT dan yang pantas adalah ilmu yang diberikan kepada anak didik itu mempunyai asas manfaat. Cobalah bayangkan Pak Ngah ! Orang yang baik adalah orang mengandung keuntungan bagi kehidupan bangsanya “.
Kata Aku “ Guru –guru sekarang seolah-olah lebih diatur oleh siswanya. Karena pengaruh hasil pemikiran manusia”. Pak Ngah bertanya lagi kepada saya, “ Aku kurang mengerti dengan ucapan kemenakan, mohon dijelaskan”. Maksudnya, peraturan yang sudah disepakati tetapi tidak dijalankan dengan baik. Padahal ungkapan zaman dulu adalah “ Manusia tahan kias, binatang tahan palu. Budaya orang sekarang mendewakan hasil pemikirannya sehingga hasil tindak tanduknya selalu melahirkan kekasaran, kekejaman, kesadisan, kemarahan, dan kesedihan.
Tidak juga paham Pak Ngah, berarti Pak Ngah sebenarnya idak lain bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan. Zaman sekarang, banyak orang bersekolah tapi tidak berpendidikan. Dalam ungkapan dikatakan, “ Kalau orang sudah tentu menjadi sarjana tetapi sarjana belum tentu menjadi orang”. Tengok Nabi kita, tidak menempuh sekolah tetapi Dia berpendidikan atau bermoral/berakhlak mulia. Buktinya, waktu mendapat petunjuk Iqro, Dia mengakui , “ Saya bodoh Jibril “. Dengan berulang kali kata itu diucapkan  Dengan modal jujur mengakui kebodohan saja dengan dasar ikhlas maka dapat masuk surga. Jangan surga malahan jiwa menjadi tenang dan riski murah serta dosa dihapuskan selebar bumi dan langit. Seperti nabi Adam, nabi Yunus.
Pak Ngah ! “ Pendidikan seperti ini agak langka zaman sekarang “. Kata saya. Orang zaman sekarang memandang dunia ke atas, memandang akhirat ke bawah. Lebih banyak memikirkan dunia daripada memikirkan alam menuju kematian. Di sekolah hari ini, anak didik dijejal dengan ujian pilhan berganda, pekerjaan rumah, tugas-tugas, dll. Buruk baik seseorang siswa di masyrakat bergantung kepada para pendidik yang di tempa di sekolah. “ Kalau guru kencing berdiri berarti siswa kencing berlari “. Anak- anak sekarang leboh banyak bermain di sekolah daripada di masyarakat. Lihat saja pulang sekolah saja pukul 4.00 WIB sampai di rumah sudah Magrib  berarti anak itu tidak sholat Ashar rata-rata. Sebab pendidikan itu adalah contoh/tauladan bukan menuangkan ilmu pengetahuan secara langsung.
Kata Allah SWT, “ Selalu mengakui kebodohan atau kelemahan, atau kesalahan dan selalu berzikir maka akan diampunkan dosa serta rezki dimurahkan tanpa diduga-duga oleh sang penerimanya. Celaka anak didik bukanlah semata-mata disebabkan oleh anak didik itu sendiri tetapi disebabkan oleh orang tuanya dan oleh lembaga yang mendidiknya. Maka Pak Ngah kurang paham kan ! Apa lagi di sekolah laporan saja yang mantap tetapi kelakuan anak tidak berubah. “ Itulah potret tunjuk ajar dalam dunia pendidikan Pak Ngah” . Kata saya.
Guru yang saya lihat dalam mengajar ada dua model, yaitu ada guru sebagai tukang dan guru sebagai seni/ intelektualitas. “ Pak Ngah hari ini, saya mengira kurang tahu apa maksudnya”. Marilah saya jelaskan ! “ guru sebagai tukang adalah guru yang mencurahkan kemampuannya secara sadar berdasarkan pengupahan barulah dia bersemangat dalam menganjar. Sedangkan guru yang bersifat seni adalah guru yang mencurahkan kemampuan secara sadar berdasarkan niat yang keluar dari lubuk hatinya sehingga dia tidak mengukur hasil karyanya hanya melalui pengupahan maka dalam proses mengajar menjadi lebih menyenangkan”. Saya contohkan kepada tukang. Tukang itu, ada tukang kayu, tukang baju, tukang bangunan, tukang sumur. Kalau kita mau menjahit baju umpamanya, langkah pertama kita siapkan adalah bahan baju tersebut. Sesampai ke tukang pasti kita berdialog dengan tukang jahit. “ Pak tukang saya mau menjahit baju, modelnya seperti baju teluk belanga. Tukang jahit menjawab kalau model ini mau Anda maka dia menjawab model seperti ini memakan waktu lama dan harga agak mahal. Si pengupah memaksa juga, tolonglah Pak. Boleh saya kerjakan tetapi Ibu sanggup nggak membayarnya, upahnya mahal, “ berapa Pak ! Rp110000” . Maka si tukang baru lah mau bekerja itu kalau sudah ditetapkan atau setuju terhadap perjanjian tadi.
Maksudnya, dari cerita ini Pak Ngah ! Kalau kita beranalogi yaitu kedua-keduanya mempunyai sifat yang sama dengan guru yang mengajar di sekolah. Pada hakikatnya, tukang itu baru bekerja kalau sudah ditetapkan harganya sedangkan guru begitu juga sudah tahu upahnya barulah dia memulainya.
Mnurut saya, “ Pekarjaan seperti akan melahirkan hasil pekerjaannya yang pertama harga mahal, kedua hasil kerja kasar sehingga hasilnya jarang memenuhi permintaan pelanggan malahan pelanggan tetap mengoceh/kecewa tapi bagaimanalah karena perjanjian sudah dibuat, jadi mengerutu atau makan hati. Begitu pula guru, banyak siswa yang mengerutu melihat guru yang mengajar tidak dapat siswa berkreatif, inovatif dalam mengembangkan potensi budayanya karena guru pada umumnya guru mengajar baru bersemangat pada awal bulan saja itu pun bergaya menoton bukan menonton.”
Guru hari ini kecenderungan lebih bersifat menunggu buku paket dari Jakarta diorbitkan ke daerah masing-masing  barulah dapat mengajar. Padahal Diknas sudah menetapkan tema-tema masing – masing mata pelajaran. Tinggal lagi guru yang merincinya sampai menjadi RPP. “ Kalau ada yang bisa ini kemungkinan langka “. Yang banyak hanya poto copy paste. Jadi, guru seperti ini jangan dianggap propesional atau ahli di bidanngya tetapi membuat sistem pembodohan terhadap siswa. Inilah yang disebut guru sebagai tukang. Contohnya, kata Menteri Pendidikan mengatakan, “ Tidak boleh guru menjual buku di sekolah”. Kata guru, “ Mengapa guru tidak boleh menjual buku nanti siswa bagaimana belajarnya, kita menolong siswa”, Cobalah dibayangkan Pak Ngah, “ tidak pandai/tidak bijak memaknai apa yang diucapkan Pak Menteri . Padahal, “ Pak Menteri mengucapakan itu tujuannya agar guru hanya mengajar dan mendidik, bukan mengajar dan mendidik sambil meminta tagihan uang buku diwaktu mengajar karena jam mengajar hanya satu jam ( 45 menit). Dari siswa bagi yang tidal melunasinya akan malu dengan temannya. Jadi, belajar diisi dengan membahasa utang piutang bukan membahas tema-tema pada jam yang ditentukan”.
Kalau menolong siswa cukup saja menginformasikan kepada siswa menunjukkan judul buku saja, suruh saja siswa pergi kepustakaan komersial seperti toko buku Gramedia, Trimedia yang ada di kota kita masing-masing. Kadang-kadang guru ada yang menjawab bahwa “ Ini tidak ada dijual di toko “. Agar anak didik membelinya dengan dia. Kalau dalam sistem ekonomi adalah gaya monopoli, menurut agama sistem seperti ini adalah tidak tepat malah mendapat siksaan dari Allah SWT. Pakailah sistem ekonomi gaya Muhammad SAW ( Rasul kita ), yaitu jujur atau cara mengajar dan mendidik gaya Muhammad SAW yang dapat melahirkan jiwa yang tenang, dan menyenangkan malahan dekat dengan Sang Pencipta kita, yaitu Allah SWT.” Mengajar yang tidak berbasiskan kepada Allah SWT dlam proses berlangsung tidak bernilai sama sekali alias mubazir. Kan sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar