CERPEN
“ TUKANG “
Aku
sekarang tersenyum melihat keadaan dunia pendidikan. “ Mengapa demikian”. Kata Pak
Ngah. Cobalah dibayangkan anak didik sekarang tidak sama dengan anak didik
zaman dulu. Kalau zaman dulu, anak didik dulu pandai menjaga malu. Salah satu
contoh bagi orang kampung mengatakan kepada anaknya, apabila pergi ke rumah
Mamaknya itu selalu ditanamkan kata yang mengandung moral yaitu, “ Pergilah ke
rumah Mamakmu atau ke rumah orang tetapi harus bermalu “. Kalau orang-orang tua
sekarang menyuruh anaknya ke rumah
Mamaknya tak usah bermalu. Ini menunjukkan kepada kita bahwa yang satu punya
sistem malu apabila berhubungan dengan orang lain dan yang satu tidak mempunyai
sistem malu. Bagi orang Melayu, malu merupakan modal dasar dalam kehidupan.
Kata
aku menyetujui pendapatmu kemenakan ! Karena kalau tidak mempunyai malu lagi
berarti kita sudah tergolong binatang. Sebenarnya binatang sekarang ini lebih
sopan dari pada manusia. Padahal binatang hanya dengan insting. Contohnya,
sebuas-buasnya harimau tidak mau menerkam orang sembarangan. Karena menangkap
orang dengan tidak perhitungan maka harimau tadi akan sulit mencari makan
sehari-hari. Harimau sudah menerkam orang maka tujuh lurah, tujuh bukit tidak
dapat makan, akhirnya, badan harimau itu mengurus. Kalau buas manusia tak usah
dibayangkan lagi, sudah dilalap ini, dilalap lagi yang lain dalam seketika itu.
Gambaran
seperti itu Pak Ngah merenung karena kemenakan sangat bijak dalam mengiaskan sesuatu
sehingga orang merasa terlibat dalam hal itu. “ Terus saja kemenakan cerita
itu!” . Kata Pak Ngah. Aku makin asyik dengan menyindir orang. Karena dengan
sindiran, orang pun ikut tersenyum padahal saya menyindir dia. Berarti betapa
dangkalnya manusia menerima pesan dari orang. Tapi lucu pula, kalau disindir
tak mau tetapi kalau dinyatakan terbuka tak mau pula. Ini pola pikir seperti
ini sulit untuk disimak.
Mamak
mau mendengar lagi, satu contoh hebat orang dulu, yaitu nabi Muhammad SAW. Dia
tidak pernah sekolah tetapi Dia berpendidikan. Malah Dia dijuluki “ Al-quran
berjalan “. Maksudnya perilaku nabi Muhammad SAW berbasis nilai-nilai Allah SWT
atau Dia melaksanakan apa yan di kehendaki Allah SWT. Kalau kita, kehendak
Allah SWT kita tinggalkan tetapi kehendak kita yang lakukan maka pasti menjadi
masalah.” Contohnya, disuruh menyebut nama Allah SWT tidak bisa. Maka dituntun
oleh Malaikat Jibril berulang-ulang, Dia tetap mengakui Aku bodoh, tak pandai
menyebutnya. Akhirnya, dengan mengakui kebodohan atau kelemahan akan melahirkan
kebahagian yang luar biasa. Tapi sekarang menyebut nama Allah SWT dalam setiap
aktivitas kehidupan jarang melibatkan nama Allah SWT. Aku menengok di sekolah,
pada umumnya bagi setiap mengajar jarang dalam proses belajar mengajar tidak
menghubungkan dengan Allah swt tentang ilmu yang kita ajarkan itu. Contohnya,
yang sederhana saja, “ Kok angka 1- 10 tersebut terseusun dengan sistematis.
Jarang kita mengajak anak didik untuk menalar siapakah yang membuat angka itu ?
Untuk apa angka tersebut dalam kehidupan ini Nak ? dan bagaimana cara
menuliskannya Nak ?”. Apa pun di dunia ini pasti ada pengertiannya, sesudah itu
pasti ada prosesnya, dan pasti ada nilai-nilainya maka inilah yang harus
ditanamkan kepada anak didik kita. Kalau
pun ada, pada awal masuk saja dan waktu pulang. Padahal dalam kurikulum 2013
dituliskan pada Kompetensi Inti, “ Mengenal Tuhan “. Padahal siapa yang tidak
menyebut nama Allah SWT bagi ummat Islam maka dia termasuk orang yang hina di
sisi Allah SWT. Karena Allah SWT memberi petunjuk, “ Kalau engkau menjaga Aku,
Aku jaga engkau dan kalau engkau sebut nama Aku, Aku sebut pula nama engkau
dalam nama Aku.”
Proses
ini disebabkan oleh tenaga pendidikan sudah lupa dengan pancang dasarnya
sehingga lebih membanggakan baju orang lain daripada bajunya sendiri. Contohya
sekarang bahasa Indonesia hampir punah oleh bahasa Inggris. Tandanya dilihat
dari tulisannya, ucapannya kurang semangat menggemakan bahasa Indonesia. Tugas
guru itu pada hakikatnya adalah menyampaikan kebenaran Allah SWT melalui
disiplin ilmu yang diampunya. Anak didik kurang mendapat tunjuk ajar yang wajar
karena guru pada umumnya kecenderungan kurang mengerti tentang konsep tunjuk
ajar. “ Mau tahu Pak Ngah “ kata saya. “ Mau kemenakan!”. “ Tunjuk yang benar,
ajar yang pantas. Maksudnya, yang benar itu adalah Allah SWT dan yang pantas
adalah ilmu yang diberikan kepada anak didik itu mempunyai asas manfaat.
Cobalah bayangkan Pak Ngah ! Orang yang baik adalah orang mengandung keuntungan
bagi kehidupan bangsanya “.
Kata
Aku “ Guru –guru sekarang seolah-olah lebih diatur oleh siswanya. Karena
pengaruh hasil pemikiran manusia”. Pak Ngah bertanya lagi kepada saya, “ Aku
kurang mengerti dengan ucapan kemenakan, mohon dijelaskan”. Maksudnya,
peraturan yang sudah disepakati tetapi tidak dijalankan dengan baik. Padahal
ungkapan zaman dulu adalah “ Manusia tahan kias, binatang tahan palu. Budaya
orang sekarang mendewakan hasil pemikirannya sehingga hasil tindak tanduknya
selalu melahirkan kekasaran, kekejaman, kesadisan, kemarahan, dan kesedihan.
Tidak
juga paham Pak Ngah, berarti Pak Ngah sebenarnya idak lain bedanya dengan orang
yang tidak berpendidikan. Zaman sekarang, banyak orang bersekolah tapi tidak
berpendidikan. Dalam ungkapan dikatakan, “ Kalau orang sudah tentu menjadi
sarjana tetapi sarjana belum tentu menjadi orang”. Tengok Nabi kita, tidak
menempuh sekolah tetapi Dia berpendidikan atau bermoral/berakhlak mulia.
Buktinya, waktu mendapat petunjuk Iqro, Dia mengakui , “ Saya bodoh Jibril “.
Dengan berulang kali kata itu diucapkan
Dengan modal jujur mengakui kebodohan saja dengan dasar ikhlas maka
dapat masuk surga. Jangan surga malahan jiwa menjadi tenang dan riski murah serta
dosa dihapuskan selebar bumi dan langit. Seperti nabi Adam, nabi Yunus.
Pak
Ngah ! “ Pendidikan seperti ini agak langka zaman sekarang “. Kata saya. Orang
zaman sekarang memandang dunia ke atas, memandang akhirat ke bawah. Lebih
banyak memikirkan dunia daripada memikirkan alam menuju kematian. Di sekolah
hari ini, anak didik dijejal dengan ujian pilhan berganda, pekerjaan rumah,
tugas-tugas, dll. Buruk baik seseorang siswa di masyrakat bergantung kepada
para pendidik yang di tempa di sekolah. “ Kalau guru kencing berdiri berarti
siswa kencing berlari “. Anak- anak sekarang leboh banyak bermain di sekolah
daripada di masyarakat. Lihat saja pulang sekolah saja pukul 4.00 WIB sampai di
rumah sudah Magrib berarti anak itu
tidak sholat Ashar rata-rata. Sebab pendidikan itu adalah contoh/tauladan bukan
menuangkan ilmu pengetahuan secara langsung.
Kata
Allah SWT, “ Selalu mengakui kebodohan atau kelemahan, atau kesalahan dan
selalu berzikir maka akan diampunkan dosa serta rezki dimurahkan tanpa
diduga-duga oleh sang penerimanya. Celaka anak didik bukanlah semata-mata
disebabkan oleh anak didik itu sendiri tetapi disebabkan oleh orang tuanya dan
oleh lembaga yang mendidiknya. Maka Pak Ngah kurang paham kan ! Apa lagi di
sekolah laporan saja yang mantap tetapi kelakuan anak tidak berubah. “ Itulah potret
tunjuk ajar dalam dunia pendidikan Pak Ngah” . Kata saya.
Guru
yang saya lihat dalam mengajar ada dua model, yaitu ada guru sebagai tukang dan
guru sebagai seni/ intelektualitas. “ Pak Ngah hari ini, saya mengira kurang
tahu apa maksudnya”. Marilah saya jelaskan ! “ guru sebagai tukang adalah guru
yang mencurahkan kemampuannya secara sadar berdasarkan pengupahan barulah dia
bersemangat dalam menganjar. Sedangkan guru yang bersifat seni adalah guru yang
mencurahkan kemampuan secara sadar berdasarkan niat yang keluar dari lubuk
hatinya sehingga dia tidak mengukur hasil karyanya hanya melalui pengupahan
maka dalam proses mengajar menjadi lebih menyenangkan”. Saya contohkan kepada
tukang. Tukang itu, ada tukang kayu, tukang baju, tukang bangunan, tukang sumur.
Kalau kita mau menjahit baju umpamanya, langkah pertama kita siapkan adalah
bahan baju tersebut. Sesampai ke tukang pasti kita berdialog dengan tukang
jahit. “ Pak tukang saya mau menjahit baju, modelnya seperti baju teluk
belanga. Tukang jahit menjawab kalau model ini mau Anda maka dia menjawab model
seperti ini memakan waktu lama dan harga agak mahal. Si pengupah memaksa juga,
tolonglah Pak. Boleh saya kerjakan tetapi Ibu sanggup nggak membayarnya,
upahnya mahal, “ berapa Pak ! Rp110000” . Maka si tukang baru lah mau bekerja
itu kalau sudah ditetapkan atau setuju terhadap perjanjian tadi.
Maksudnya,
dari cerita ini Pak Ngah ! Kalau kita beranalogi yaitu kedua-keduanya mempunyai
sifat yang sama dengan guru yang mengajar di sekolah. Pada hakikatnya, tukang
itu baru bekerja kalau sudah ditetapkan harganya sedangkan guru begitu juga
sudah tahu upahnya barulah dia memulainya.
Mnurut
saya, “ Pekarjaan seperti akan melahirkan hasil pekerjaannya yang pertama harga
mahal, kedua hasil kerja kasar sehingga hasilnya jarang memenuhi permintaan
pelanggan malahan pelanggan tetap mengoceh/kecewa tapi bagaimanalah karena
perjanjian sudah dibuat, jadi mengerutu atau makan hati. Begitu pula guru,
banyak siswa yang mengerutu melihat guru yang mengajar tidak dapat siswa berkreatif,
inovatif dalam mengembangkan potensi budayanya karena guru pada umumnya guru
mengajar baru bersemangat pada awal bulan saja itu pun bergaya menoton bukan
menonton.”
Guru
hari ini kecenderungan lebih bersifat menunggu buku paket dari Jakarta diorbitkan
ke daerah masing-masing barulah dapat
mengajar. Padahal Diknas sudah menetapkan tema-tema masing – masing mata
pelajaran. Tinggal lagi guru yang merincinya sampai menjadi RPP. “ Kalau ada
yang bisa ini kemungkinan langka “. Yang banyak hanya poto copy paste. Jadi, guru seperti ini jangan dianggap propesional
atau ahli di bidanngya tetapi membuat sistem pembodohan terhadap siswa. Inilah
yang disebut guru sebagai tukang. Contohnya, kata Menteri Pendidikan
mengatakan, “ Tidak boleh guru menjual buku di sekolah”. Kata guru, “ Mengapa
guru tidak boleh menjual buku nanti siswa bagaimana belajarnya, kita menolong
siswa”, Cobalah dibayangkan Pak Ngah, “ tidak pandai/tidak bijak memaknai apa
yang diucapkan Pak Menteri . Padahal, “ Pak Menteri mengucapakan itu tujuannya
agar guru hanya mengajar dan mendidik, bukan mengajar dan mendidik sambil
meminta tagihan uang buku diwaktu mengajar karena jam mengajar hanya satu jam (
45 menit). Dari siswa bagi yang tidal melunasinya akan malu dengan temannya.
Jadi, belajar diisi dengan membahasa utang piutang bukan membahas tema-tema
pada jam yang ditentukan”.
Kalau
menolong siswa cukup saja menginformasikan kepada siswa menunjukkan judul buku
saja, suruh saja siswa pergi kepustakaan komersial seperti toko buku Gramedia,
Trimedia yang ada di kota kita masing-masing. Kadang-kadang guru ada yang
menjawab bahwa “ Ini tidak ada dijual di toko “. Agar anak didik membelinya
dengan dia. Kalau dalam sistem ekonomi adalah gaya monopoli, menurut agama
sistem seperti ini adalah tidak tepat malah mendapat siksaan dari Allah SWT.
Pakailah sistem ekonomi gaya Muhammad SAW ( Rasul kita ), yaitu jujur atau cara
mengajar dan mendidik gaya Muhammad SAW yang dapat melahirkan jiwa yang tenang,
dan menyenangkan malahan dekat dengan Sang Pencipta kita, yaitu Allah SWT.”
Mengajar yang tidak berbasiskan kepada Allah SWT dlam proses berlangsung tidak
bernilai sama sekali alias mubazir. Kan sesuai dengan tujuan pendidikan
Nasional”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar