Sabtu, 19 Oktober 2019

Analisis Potret Kehidupan Berbangsa dalam Antologi Puisi " Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail


ANALISIS POTRET KEHIDUPAN BERBANGSA DALAM ANTOLOGI PUISI
“ MALU AKU JADI ORANG INDONESIA “ KARYA TAUFIQ ISMAIL




PENDAHULUAN
            Kehidupan berbangsa di Indonesia berdasarkan sistem Pancasila. Ternyata dalam praktiknya ada kecenderungan kurang terjalin dengan baik. Yang lebih banyak dilaksanakan adalah bersifat serimonial saja bukan diterjemahan dalam praktik prilaku kehidupan berbangsa. Dengan perkataan lain, bangsa Indonesia ini lebih banyak berlomba dalam pembacaan teks tetapi jarang berlomba dalam melaksanakan isi Pancasila yang sudah diwariskan oleh pemimpin terdahulu.
            Cobalah dibayangkan atau direnungkan pada hari ini, mulai pada tataran yang paling tinggi yaitu Presiden sampai pada tataran bawah, yaitu rakyat biasa seolah-olah negeri ini tidak punya tuan maka yang terlihat hanya siapa yang kuat itulah diakui kebenarannya. Dan rakyat bernyanyi atau menyebarkan kebenaran itu tidak mendapat yang terhaormat dimata penguasa. Seperti cerita “ Singapora Dilanggar Todak “. Artinya, pemimpin yang sudah kewalahan menghadapi ikan todak yang selalu menyerang walayahnya. Akhirna, budak kecil yang memberikan saran yang terbaik, pemimpin tersebut mampu menerima pendapat sang kecil yang menerima pendapat sang kecil itu tetapi setelah berhasil sang kecil, dimata pemimpin tersebut merasa malu dihadapan rakyatnya maka pemimpin ( raja) itu disuruhnya pasukannya untuk membunuh sang budak itu. Dengan patuh pasukannya maka dibunuh. Ini menunjukkan budaya pemimpin dulu dengan pemimpin sekarang tidak boleh disarankan atau diberi tunjuk ajar. Karena pemimpin sekarang merasa dapat menguasai semua disiplin ilmu. Padahal tidak seperti itu.
            Waktu mencari suara agar dia terpilih untuk memimpin negeri ini seperti pengemis. Setelah berhasil maka janji diucapkan kepada rakyat tida ada yang terkabulkan hanya dalam khayalan benak rakyat saja. Kalau mau mendengar dan melihat tunjuk ajar nabi Muhammad SAW, yaitu jujur. Ketidakjujuran negeri ini menjamur KKN atau banyak yang bermasnis mulut di depan rakyat tetapi tidak bermanis dalam hatinya.
            Penyakit yang paling mendasar adalah kita pada umumnya sudah jauh dengan Allah SWT seharusnya dekat dengan Allah SWT. Sebab tidak dekat Allah SWT maka melahirkan sifat rakus alias tamak. Ingin menguasai semuanya padahal kemampuannya tidak mampu tetapi dipaksa juga.
            Di dalam antologi puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Karya Taufik Ismail menggambarkan bahwa perilaku negatif seperti pragmatisme, utang Indonesia, korupsi, suap, keserakahan penguasa, indokrinasi, kecurangan pemilu, pengingkaran Undang – Undang Dasar 1945. Sebaliknya perilaku yang positif seperti kejujuran, taubat, kepahlawanan, reformasi, dan demokrasi.
            Kehidupan berbangsa di Indonesia baik antara pemimpin dengan rakyatnya kurang sejalan karena rakyat dihujani janji dalam rangka meraih suara setelah memperoleh suara terbanyak maka waktu diangkat barulah dengan bersumpah dengan Allah SWT melalui Alquran. Itu kan hanya melalui orang yang membaca sumpahnya dan dia hanya mengulanginya sebenaranya kurang valid. Seharusnya, dia bersumpah atas bahasanya sendiri dengan melibatkan Allah SWT maka hasilnya akan membawa dampak yang positif.
Pembahasan
Perilaku Pragmatisme dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Judul puisi “ 12 Mei 1988:. Mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Puisi ini menggambarkan kepada kita betapa mudahnya pemimpin kita menyuruh anak buahnya untuk memberanikan diri menembak mahasiswa yang masih belum terkontaminasi paham- paham Yahudi itu. Karena Hukum di negara kita itu tidak ada perintah menembak manusia. Cobalah pikirkan secara sadar dalam teks hukum itu tidak ada satu kalimat menembak manusia. Sedangkan binatang saja punya perhitungan bukan sembarangan tembak saja. Menurut Undang- Undang Dasar, kita di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sehingga tidak menimbulkan korban sperti dalam bait puisi 12 Mei 1998 yang pertama. “ Empat suhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu- sedan” . Dan bait keenam yang berbunyi, “ Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama dan kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.”.
            Berdasrkan pernyataan puisi di atas, melukiskan suasana kesdihan yang mendalam dari sebab pemimpin yang ingin memenuhi kepentingan secara praktis atau kotemporer. Padahal mahasiswa jiwa bersih. Kalaulah mahasiswa tidak demontrasi ke jalan raya secara praktis maka sistem kehidupan berbangsa tidak dapat yang kita rasakan sekarang ini. Ada orang yang berpandangan sempit bahwa mahasiswa demontrasi itu membawa kerugian yang besar untuk negara ini. Sebaliknya, ada orang berpandangan luas bahwa mahasiswa membawa dampak positif. Dengan kata lain, ada orang yang baik belum pernah memegang jabatan di suatu instansi mendapat jabatan disebabkan oleh mahasiswa demontrasi. Cobalah bayangkan mahasiswa telah mati memperjuangkan nasib bangsa ini dan orang menikmati hasilnya.
Perilaku Berhutang Bangsa Indonesia dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Indonesia”. Karya Taufik Indonesia.
            Puisi “ Syair Empat Kartus di Tangan “ bait pertama yang berbunyi, “ Ini bicara blak- blakan saja, bang. Buka kartu tampak tampang. Sehingga semua jelas membayang. Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang”. Dan bait kedua yang berbunyi, “ Sudahlah, kabukaan saja kita bicara. Koyak tampak terkubak semua sehingga buat apa basi dan basa. Sila kami Keuangan Yang Maha Esa. Dan bait ketiga pada baris terakhir yang berbunyi, “ Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah. Serta bait ketiga pada baris terakhir yang berbunyi, “ asas tunggalku memang keserakahan”.
            Isi puisi ini menggambarkan bahwa para penguasa dan pengusaha sudah menjadi darah daging dalam kehidupannya hanya memikirkan uang saja. Tujuan hidupnya hanya sebatas uang saja. Inilah contoh pemimpin yang loba dan tamak sehingga bangsa ini menanggung hutang yang berkepanjang selagi ada nyawa ditubuh berarti berhutang. Yang dibuat oleh para pejabat kita. Laporan pertanggungjawaban saja yang mulus, kenyataannya tidak mulus. Antara DPR dengan Pemirintah sudah berselingkuh akibatnya rakyat jugalah susah mencari makan.
            Seperti judul puisi Grindam Satu yang berbunyi, “ Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta. Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta. Pada Gurindam Satu Setengah berbunyi, “ Harimau mati meninggalkan belang. Pedagang mati meninggalkan hutang. Rakyat mati meninggalkan belulang.
            Puisi ini menunjukkan kepada kita betapa dahsyatnya perilaku kepemimpin negeri ini tetapi disalahgunakannya ke jalan nafsu birahinya. Padahal sudah tamat sekolah seharusnya lebih hebat cara berpikirnya dibandingkan dengan orang tidak bersekolah. Contohnya saja, Nabi Muhammad SAW tidak bersekolah dari pada orang berpendidikan yang tinggi atau bermoral yang tinggi. Tahu Dia mana yang hak orang dan mana hak kita. Karena modal Nabi Muhammad SAW dalam berdagang atau berekonomi dengan modal jujur sehingga tahu mubah, makruh, sunat, dan wajib. Kalaulah ini diterapkan di dunia Indonesia ini maka bangsa Indonesia menjadi sejahtera. Modal kepemimpinan sekarang hanya kapitalis dan liberalis.
Perilaku Korupsi dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Di dalam kehidupan berbahasa dalam rangka menyampaikan sesuatu tentu tidak lepas dari lambing dan kiasan. Untuk itulah kata. Untuk itulah kata “ korupsi “ banyak mengandung makna ada yang makna korupsi waktu, korupsi uang, korupsi suara, dan korupsi pemikiran. Kata korupsi sebanding dengan kata maling/mencuri. Korupsi artinya, sesuatu kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan perjanjian awal perundingan baik berjanji dengan Allah SWT maupun berjanji dengan pemimpin serta berjanji dengan rakyat itu sendiri. Dengan kata lain, sesuatu pekerjaan dengan nait ingin meraih keuntungan untuk kita sendiri maupun kelompoknya yang tidak berbasis nilai Allah SWT adalah dosa. Tetapi orang sekarang tidak takut dengan Tuhannya tetapi dia lebih takut kepada manusia atau kepada pemimpinnya. Padahal Allah SWT sudah memberi petunjuk kepada kita, yaitu “ Kalau takut sama manusia dan binatang buas maka jalan keluarnya adalah lari dan kalau takut dengan Allah SWT jalan keluarnya adalah mendekat kepada-Nya. Kita sekarang ini lebih banyak berbicara tentang Allah SWT seharusnya kita lebih banyak berzikir kepada Allah SWT. Karena berbicara atau berkata Allah belum tentu ingat dengan Allah SWT tetapi kalau ingat pasti berbicara/berkata kepada-Nya.
            Kalau memang takut kepada Allah SWT mengapa menjamur orang korupsi di departemen pemerintah dan di departemen swasta. Kalaulah sadar pemimpin kita yang tertinggi sebenarnya bukan presiden yang mengatur negeri ini, tetapi diatur oleh para koruptor atau para pemaling. Pemimpin kita mengatakan, “ Mari kita berantas mafia hukum, mafia pajak, mafia uang”. Ternyata orang hanya mendengar saja pidato presiden tetapi kurang diamalkan. Sebab mandate yang paling tinggi dipercayakan bidang opersional adalah Presiden. Hak paten presiden dalam pasal 10 Pancasila, “ Presiden berhak menyatakan perang”. Apalagi memerintahkan kepada bawahannya untuk jangan korupsi. Itu sebenarnya tidak hambatan tetapi ternyata tak bisa. Berarti lebih hebat bawahannya dari pada Presiden dalam hal ini. Kalau Presiden tidak ada kepentingan di situ maka Presiden langsung saja mengatakan kepada bawahannya, yaitu “ siapa yang korupsi langsung tangkap tidak perlu minta pertimbangan dari Presiden “.
            “ Kalau takut digelombang jangan berumah di tepi pantai”. Maksudnya secara denotatif bahwa bukan gelombang yang dianalisis/dikaji tetapi cara orang membuat rumah tepi pantai itu diberikan tunjuk ajar. Kalau gelombang itu buatan Allah SWT sedangkan rumah di tepi pantai adalah buatan manusia. Dengan perkataan lain, kita jangan takut dengan para pemaling atau pencuri alias koruptor asal para pemimpin jangan sempat termakan budi sama pemaling tsb yang berupa sumbangan. Maka lidah pemimpin itu selalu di atas lidah para koruptor.
            Para pemimpin itu sebenarnya tidak terlepas memegang amanah. Amanah itu tiga unsure, yaitu amanah dengan Allah SWT, amanah dengan Nabi Muhammad SAW, dan amanah dengan rakyat. Sebab sebesar biji bayam besok akan dipertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Di dunia saja sudah terlihat kacau balaunya pemecahan atau penyelesaian masalah jarang mulus apalagi sisi Allah SWT besok. Seperti tertera dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul “ Kotak Suara “, yaitu pada bait pertama, “ Di sebuah kerajaan dilangsungkan pemilihan. Di sebuah pemilihan dilakukan penghitungan. Di sebuah penghitungan berlangsung keajaiban. Di sebah keajaiban semua mata ditutupkan”. Bait kedua, “ berbagai ilmu diterapkan mentabulasinya. Matematika, statisika, dan retorika. Berbagai aplikasi.
            Di dalam pemilihan umum kadang-kadang ada juga korupsi suara atau makelar suara. Makelar suara terjadi disebabkan oleh seseorang yang bernafsu menguasai jabatan yang tertinggi itu maka sanggup berbuat melanggar hukum positif Indonesia. Padahal dia sudah bersumpah dengan Tuhan Yang Mahaesa tetapi dia tetap berbuat. Jadi, hukum apalagi yang harus diterapkan kepada penyandang pangkat jabatan. Seperti yang tergambar dalam puisi “ Kotak Suara “ pada bait kelima yang berbunyi “ Di akarnya ada angka seratus ribu. Naik ke batang jadi seratus ribu. Terus ke ranting jadi setengah juta. Sampai di puncak jadi sejuta. Ajaib, angka-angka beranaknya luar biasa. Dan pada bait keenam berbunyi, “ Di dalam kotak suara. Angka-angka saling bertanya asal-asul satu dan lainnya. Mereka berselisih pendapat dan berkelahi sesamanya. Angka-angka sikut-menyikut , puluk-memukul. Angak-angka tampar-menampar, gebuk –menggebuk”.
Perilaku Suap dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia “ Karya Taufik Ismail
            Pada umumnya, para pemimpin kita seolah-olah ber-Tuhan kepada uang daripada ber-Tuhan kepada Allah SWT. Sehingga dalam kehidupan berbangsa sulit kita membedakan mana orang berpenghasilan yang berbasis keringatnya sendiri atau mengharapkan bantuan orang lain dengan caa-cara negatif. Isu suap sebenarnya tidak rahasia khusus lagi tetapi sudah menjadi suap yaitu tentang proses penjualan tanah, KTP dalam memperlancarkan pengurusannya. Seperti yang tertera dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul, “ Enam Juklak Kleptokrasi kepada S. Jalil. Pada bait kelima dan keenam yang berbunyi, “ Suapan uang lebih mangkus ketimbang ancaman nyawa. Namun bagaimana juga laksanakan dua-dua. Ada 10 jurus penyuapan, 10 teknik pengancaman. Siapkan senyuman sesuai acara pembantaian. Dan bait keenam yang berbunyi, “ Jangan ada yang kurang kenyang dan tak puas diri , jangan ada yang keluar dari lingkaran ini. Matahari tenggelam, matahari terbit lagi. Program harus terus direvisi dan direvisi
Perilaku Keserakahan Penguasa dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail
            Keserakahan penguasa dari hari ke hari bulan ke bulan tahun ke tahun terus berjalan dengan bik. Sehingga keserakahan itu seolah-olah sudah menjadi budaya bangsa. Padahal keserakahan itu menurut hati nurani rakyat tidak setuju. Maka para penguasa pada umumnya selalu berlindung dengan bahasa yang indah sehingga rakyat menjadi tercengang dari pidato para pejabat. Para sarjana pada umumnya, tak ubah seperti pipa saja berbeda dengan dengan sarjana zaman dulu. Zaman dahulu dapat membedakan warna hitam dengan putih. Sedangkan sekarang pemimpin hanya kurang mampu membedakan warna hitam dengan putih. Maksudnya, pemimpin sekarang ingin mengumpulkan harta sebanyak mungkin semasa dia memegang jabatan. Cobalah dihayati yang terjadi di Indonesia ini, rata-rata setiap provinsi mengalami kerusuhan yang menghanguskan fasilitas-fasilitas umum. Ini disebabkan oleh para pemimpin rakus terhadap uang karena uang dianggapnya sebagai tujuan padahal uang itu sebagai salah satu sarana/alat untuk mencapai kebahagian duniawi saja. Pada umumnya, pemimpin suda dikunci mati hatinya terhadap kebenaran Ilahi maka melahirkan keserakahan dalam hidupnya.
            Minyak, kayu, oksigen, batu bara, sudah mulai terkuras/habis/rusak disebabkan oleh orang dipercayakan oleh rakyatnya sehingga tidak meninggalkan untuk anak cucu. Di Indonesia ini hasil buminya atau SDA cukup banyak Cuma saja SDM kurang terampil memfasilitasnya. Seperti yang tertuang dalam puisi, “ Seratus Juta “. Pada bait pertama, yang berbunyi, “ Ummat miskin dan penganggur berdiri hari ini. Seratus juta banyaknya, tampaknya olehmu wajah mereka di tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa. Kini ketundukkan kepala, karena. Ada sesuatu besar luar bias. Hilang terasa dari rongga dada. Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri di sini. Saudara kita yang sempit rezeki , terbungkuk hari ini. Di belakang mereka tegak anak dan isteri berjuta-juta. Berates ribu saf bejajar susunya. Sampai ke kakilangit khatulistiwa. Tak ada lagi tempat tersedia. Di kantor, pabrik dan took bagi mereka. Dan jadi semestalah ini sengsara. Anak-anak tercerabut dari pendidikan. Penyakit dan obat, sejarak utara dan selatan. Cicilan kredit terlantar berantakan. Bilakah gerangan terbuka gerbang pkerjaan. Suram, suramnya langit keadaan . Nestapa, nestapanya cuaca bangsa. Kini ketundukkan kepala, karena ada sesuatu besar luar biasa. Hilang terasa dari rongga dada.
Perilaku Indokrinasi dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Para pemimpin pada umumnya memberi tunjuk ajar kepada rakyatnya supaya dalam hidup ini harus berbasis Pancasila. Dalam hal ini, rakyat disuruh mencintai rupiah jangan mencintai dolar. Tetapi kenyataannya para pejabat di Indonesia lebih banyak menanam saham di bank di luar negeri. Seolah-olah rakyat disuruh untuk miskin sedangkan dia bermewah-mewah dengan bunga bank luar negeri. Sampai-sampai yang dimakan dan yang dipakai rakyat harus produk Indonesia serta perabot dalam negeri sedangkan dia memakai simbol-simbol luar negeri. Seperti yang disindir oleh Taufik Ismail dalam puisinya yang berjudul, “ Cinta Rupiah” pada bait kelima dan keenam, yaitu, “ Wajah-wajah kaya luarbiasa menukarkan uang Amerika. Seujung jari kaki mereka diperagakan di layar kaca. Seluruh negeri curiga semua tayangan itu riya dan dusta. Bagi kami yang miskin, adegan itu makin memedihkan mata dan Pemuka negeri ini pura-pura saja Pancasila. Pemerintah mencintai rupiah tulen materialistis dan sebabenda. Membela rupiah bolehlah, itu bagian dari bela bangsa. Di tivi semboyan muncul lagi, hamper muntahku menutup layarnya “.
            Ini tunjuk ajar yang salah, rakyat disuruh untuk menggemakan seseorang pemimpin yang makin lama memimpin negeri ini maka semua rakyat dibuat otak dan hatinya menyanjung /memuji-memuji tokoh ini sehingga lahirlah julukan-julukan yang maha dahsyat, yaitu Bapak Pembangunan, Bapak Besar Revolusi. Dengan gelar itulah ada seklompok orang yang kurang suka dengan mengangkat gelar itulah ada sekelompok orang yang kurang suka dengan mengangkat gelar karena karena berselimut dengan gelar itu maka rakyat Indonesia bungkam dan dilanda miskin dari tahun ke tahun sampai sekarang. Kompas, 15 April 2006 halaman 34 mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 35,1 jiwa orang. Angka ini lebih baik dibandingkan tahun 2000, terdapat 38,7 juta penduduk miskin. Tetapi angka pengangguran terbuka bertambah. Pada tahun 2000 hanya ada 5,8 jiwa orang pengangguran terbuka, sementara pada tahun 2005 menjadi 10,9 usia produktif yang menganggur. Akibat banyak orang yang menganggur disebabkan oleh sistem pembangunan Indonesia lebih banyak beroreintasi kepada orang yang memimpin sehingga bertuhan kepada pemimpin saat itu. Seharusnya berbasis sistem. Sehingga menjadi cerita yang berkelanjutan bagi anak cucu kita. Seperti apa yang disindir oleh Taufik Ismail dalam puisi, “ Bersyukur, bersykurlah”, yaitu: “ Bersyukurlah San, kau tak ikutan-ikutan. Mempersembahkan gelar Pemimpin Besar Revolusi bersyukurlah. Bersyukurlah. Bersykurlah San, kau tak tak turut-turutkan. Menjujungkan gelar Bapak Pembangun. Bersyukur. Bersyukur San, kau tak terpikat kedudukan. Jadi anggota MPR mewakili seniman. Bersykurlah. Bersyukurlah San, kau menolak buku larangan dan cekal pementasan. Pegal lehermu melobi terus-terusan. Bersyukurlah. Sehingga bila keturunan kelak bertanya. Waktu lama dulu kakek tegak di mana. Engkau agak selesa bias bercerita”.
Perilaku Kecurangan Pemilu dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Kecurangan pemilu terjadi di mana-mana, terjadi kecurangan pemilu disebabkan oleh para calon pemimpin itu punya kepentingan tertentu yaitu ingin menjadi orang suka dipuji dan ingin menguasai daerah paling luas supaya Nampak hebat serta ingin memperkaya diri sendiri. Cuma slogannya tidak tanggung-tanggung seperti menciptakan perdamaian, mencerdaskan  perdamaian,mencerdaskan bangsa, menciptakan lapangan pekerjaan , membanbgkitkan potensi daerah setempat dan menciptakan perdagangan agar rakyat menjadi adil dan makmur. Insya Allah, sampai sekarang bukan rakyat yang maju dan kaya tetapi pemimpin yang lolos dari sistem penipuan suara.
            Negara ini diibaratkan seperti singa dan rakyat diibaratkan seperti kucing. Maksudnya, pemerintah ini kalau diberi kritik dan saran dari rakyat seolah-olah didengar tetapi tidak dilaksanakan. Sebaliknya, kalau pemerintah yang membuat keputusan justru harus wajib dilaksanakan maka tidak terjadi musyawarah.
            Pasal keempat, “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan. Konsep ini hanya slogan belaka tetapi mampu juga membuat kecurangan dalam pemilu. Maka solusinya, cukup saja orang-orang mempunyai intelektualitas yang tinggi yang berunding untuk memilih calon pemimpin. Karena dengan cara ini, dapat menghemat biaya, tenaga, pemikiran, dan waktu. Dengan sistem suara orang gila pun diambil agar suara menjadi banyak. Sebab faktor jumlah belum menunjukkan mutu/kualitas tetapi kulaitas menunjukkan kuantitas. Seperti yang tertuang dalam puisi Taufik Ismail berjudul “ Kotak Suara “ pada bait keenam yang berbunyi, “ Dia dalam kota suara. Angka-angka saling bertanya asal-usul satu dan lainnya. Mereka berselisih pendapat, dan berkelahi sesamanya. Angka-angka sikut-menyikut, pukul-memukul. Angka-angka tampar-menampar, gebuk-menggebuk. Dan bait ketujuh yang berbunyi, yaitu “ Mereka berkelahi berlari-lari. Kotak itu terbayang ke kanan dan ke kiri. Angka-angka capek, tergeletak kini. Inilah kisah berikutnya tentang mereka yang mengembara. Dan bait kesebelas yang berbunyi “ Ada angka lainnya terbang kesawan, turun sebagai hujan. Masuk ke sungai mengalir dan banjir. Banjir itu mengsorkan pertebingan, mematahkan jembatan. Menutup persawahan, menghanyutkan pergubukan. Dan menggasak perkotaan.
Perilaku Pengingkaran Undang-Undang Dasar dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail
            Dalam kehidupan bernegara ini, yang masih bersemangat yang tinggi melaksanakanpesan-pesan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar adalah pada zaman Sukarno dan Hatta. Dari zaman Suharto, zaman Habibie, zaman Megawati, zaman Gusdur dan zaman SBY  ada kecenderungan menurunnya semangat untuk melaksanakan pesan Undang-Undang Dasar.Yang paling fatal pada zaman sekarang katanya negara adalah negara hukum. Berarti semua orang di depan hukum adalah sama tanpa terkuacuali. Ternyata dalam prakteknya tidak sesuai dengan hukum tertulis itu. Tidak ada rahasia lagi. Contohnya, kejadian yang terjadi pada pasangan suami istri tuna netra ( buta keduanya ) ditangkap oleh polisi dan diajukan ke Jaksa terakhir dipersidangan diputuskan oleh hakim dengan hukuman 15 tahun penjara. Yang paling mudah dijebloskan ke penjara adalah orang-orang miskin atau melarat tetapi orang kaya atau pejabat melakukan tindak pidana paling banyak pembelanya. Inilah potret hukum Indonesia, yaitu hukum itu tajam ke bawah. Kelemahan hukum di Indonesia adalah dia ( pelaksana hukum ) memandang hukum itu secara normatif atau hukum teks/tertulis kurang memperhatikan aspek sosial, sosiologis, aspek budaya, agama di dalam memutuskan perkara. Akibatnya, menjadi kerusuhan selesai persidangan. Maka kita malu menjadi orang Indonesia kalau pelaksanaannya seperti ini.
            Seperti pada puisi Taufik Ismail yang berjudul, “ Malu ( Aku Jadi Orang Indonesia “ pada  bait keempat belas yang berbunyi, “ Dinegriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah. Ciumlah harum aroma mereka punya jenazah sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dikunyah lumat-lumat.. Dan pada bait kesepuluh yang berbunyi, “ Di negeriku ada pembunuhan penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur, Koeng, Nifah, Santa Cruz, Irian, dan Bayuwangi, ada pula pembatahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang- terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan , dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan. Pada bait keduapuluh satu yang berbunyi, “ Di negeriku budi pekerti mulai di dalam kitab masih ada tapi dalam kehidupan sehar-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukkan jerami selepas menuai padi. Langit akhlak rubuh di atas negeriku berserak-serak, hukum tak tegak, doyang berderak – gerak. Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, lebuh Tun Razak. Berjalan aku di Sixh Aveneu, Maydan Tahrir dan Ginza. Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotania. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata. Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu Jadi Orang Indonesia.
            Orang Indonesia pada umumnya kadar malunya sudah menurun, yang khususnya para pemimpin kita seolah-olah tidak rasa malu. Cobalah bayangkan di DPR dulunya pernah ditayang di sebuah televisi  Indonesia salah seorang anggota DPR RI berbuat maksiat di kantornya dengan bawahannya ( wanita ). Orang seperti ini sudah hilang rasa malunya dengan Allah SWT dengan nabi Muhammad SAW, dengan gurunya, dan dengan dirinya sendiri. Maka lahir sebuah ungkapan yang jarang terpikirkan oleh kita, “ Binatang dengan sifat kebinatangannya melahirkan rahmat sedangkan kita dengan sifat kebinatangan melahirkan malapetaka/musibah.
Kesimpulan
            Berdasarkan analisis antologi puisi Karya Taufik Ismail yang berjudul, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia “. Maka kesimpulannya sebagai berikut di bawah ini:
1.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai budaya berpikirnya secara pramatis atau mencari solusi instan atau cepat saji
2.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah sudah mulai menciptakan budaya hidup berhutang setiap warga bangsa dari generasi ke generasi.
3.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai budaya berpikirnya secara distorsy atau penyimpangan makna.
4.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai budaya berpikirnya kurang mendorong kepada pihak hukum untuk memprosesnya di hadapan hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Jabrohim (ed), 2014. Teori Penelitian Sastra.
Junus, Umar, 1985. Dari Imajinasi Ke Imajinasi Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. 1985. Jakarta: Gramedia.
Munsi, Alf Danya, 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. 1997. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar