ANALISIS
POTRET KEHIDUPAN BERBANGSA DALAM ANTOLOGI PUISI
“ MALU AKU
JADI ORANG INDONESIA “ KARYA TAUFIQ ISMAIL
PENDAHULUAN
Kehidupan berbangsa di Indonesia
berdasarkan sistem Pancasila. Ternyata dalam praktiknya ada kecenderungan kurang
terjalin dengan baik. Yang lebih banyak dilaksanakan adalah bersifat serimonial
saja bukan diterjemahan dalam praktik prilaku kehidupan berbangsa. Dengan
perkataan lain, bangsa Indonesia ini lebih banyak berlomba dalam pembacaan teks
tetapi jarang berlomba dalam melaksanakan isi Pancasila yang sudah diwariskan
oleh pemimpin terdahulu.
Cobalah dibayangkan atau
direnungkan pada hari ini, mulai pada tataran yang paling tinggi yaitu Presiden
sampai pada tataran bawah, yaitu rakyat biasa seolah-olah negeri ini tidak
punya tuan maka yang terlihat hanya siapa yang kuat itulah diakui kebenarannya.
Dan rakyat bernyanyi atau menyebarkan kebenaran itu tidak mendapat yang
terhaormat dimata penguasa. Seperti cerita “ Singapora Dilanggar Todak “.
Artinya, pemimpin yang sudah kewalahan menghadapi ikan todak yang selalu
menyerang walayahnya. Akhirna, budak kecil yang memberikan saran yang terbaik,
pemimpin tersebut mampu menerima pendapat sang kecil yang menerima pendapat
sang kecil itu tetapi setelah berhasil sang kecil, dimata pemimpin tersebut
merasa malu dihadapan rakyatnya maka pemimpin ( raja) itu disuruhnya pasukannya
untuk membunuh sang budak itu. Dengan patuh pasukannya maka dibunuh. Ini
menunjukkan budaya pemimpin dulu dengan pemimpin sekarang tidak boleh
disarankan atau diberi tunjuk ajar. Karena pemimpin sekarang merasa dapat
menguasai semua disiplin ilmu. Padahal tidak seperti itu.
Waktu mencari suara agar dia
terpilih untuk memimpin negeri ini seperti pengemis. Setelah berhasil maka
janji diucapkan kepada rakyat tida ada yang terkabulkan hanya dalam khayalan
benak rakyat saja. Kalau mau mendengar dan melihat tunjuk ajar nabi Muhammad
SAW, yaitu jujur. Ketidakjujuran negeri ini menjamur KKN atau banyak yang
bermasnis mulut di depan rakyat tetapi tidak bermanis dalam hatinya.
Penyakit yang paling mendasar adalah
kita pada umumnya sudah jauh dengan Allah SWT seharusnya dekat dengan Allah
SWT. Sebab tidak dekat Allah SWT maka melahirkan sifat rakus alias tamak. Ingin
menguasai semuanya padahal kemampuannya tidak mampu tetapi dipaksa juga.
Di dalam antologi puisi “ Malu Aku
Jadi Orang Indonesia”. Karya Taufik Ismail menggambarkan bahwa perilaku negatif
seperti pragmatisme, utang Indonesia, korupsi, suap, keserakahan penguasa,
indokrinasi, kecurangan pemilu, pengingkaran Undang – Undang Dasar 1945.
Sebaliknya perilaku yang positif seperti kejujuran, taubat, kepahlawanan,
reformasi, dan demokrasi.
Kehidupan berbangsa di Indonesia
baik antara pemimpin dengan rakyatnya kurang sejalan karena rakyat dihujani
janji dalam rangka meraih suara setelah memperoleh suara terbanyak maka waktu
diangkat barulah dengan bersumpah dengan Allah SWT melalui Alquran. Itu kan
hanya melalui orang yang membaca sumpahnya dan dia hanya mengulanginya sebenaranya
kurang valid. Seharusnya, dia bersumpah atas bahasanya sendiri dengan
melibatkan Allah SWT maka hasilnya akan membawa dampak yang positif.
Pembahasan
Perilaku
Pragmatisme dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik
Ismail
Judul puisi “ 12 Mei 1988:.
Mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Puisi ini menggambarkan kepada kita betapa mudahnya pemimpin kita menyuruh anak
buahnya untuk memberanikan diri menembak mahasiswa yang masih belum terkontaminasi
paham- paham Yahudi itu. Karena Hukum di negara kita itu tidak ada perintah
menembak manusia. Cobalah pikirkan secara sadar dalam teks hukum itu tidak ada
satu kalimat menembak manusia. Sedangkan binatang saja punya perhitungan bukan
sembarangan tembak saja. Menurut Undang- Undang Dasar, kita di depan hukum
sama, tidak ada perbedaan sehingga tidak menimbulkan korban sperti dalam bait
puisi 12 Mei 1998 yang pertama. “ Empat suhada berangkat pada suatu
malam, gerimis air mata tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke
tanah kuburan dan simaklah itu sedu- sedan” . Dan bait keenam yang
berbunyi, “ Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama dan kalian
pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta
dari Tuhan.”.
Berdasrkan pernyataan puisi di
atas, melukiskan suasana kesdihan yang mendalam dari sebab pemimpin yang ingin
memenuhi kepentingan secara praktis atau kotemporer. Padahal mahasiswa jiwa
bersih. Kalaulah mahasiswa tidak demontrasi ke jalan raya secara praktis maka
sistem kehidupan berbangsa tidak dapat yang kita rasakan sekarang ini. Ada
orang yang berpandangan sempit bahwa mahasiswa demontrasi itu membawa kerugian
yang besar untuk negara ini. Sebaliknya, ada orang berpandangan luas bahwa mahasiswa
membawa dampak positif. Dengan kata lain, ada orang yang baik belum pernah
memegang jabatan di suatu instansi mendapat jabatan disebabkan oleh mahasiswa
demontrasi. Cobalah bayangkan mahasiswa telah mati memperjuangkan nasib bangsa
ini dan orang menikmati hasilnya.
Perilaku
Berhutang Bangsa Indonesia dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Indonesia”.
Karya Taufik Indonesia.
Puisi “ Syair Empat Kartus di Tangan
“ bait pertama yang berbunyi, “ Ini
bicara blak- blakan saja, bang. Buka kartu tampak tampang. Sehingga semua jelas
membayang. Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang”. Dan bait kedua yang
berbunyi, “ Sudahlah, kabukaan saja kita
bicara. Koyak tampak terkubak semua sehingga buat apa basi dan basa. Sila kami
Keuangan Yang Maha Esa. Dan bait ketiga pada baris terakhir yang berbunyi,
“ Ideologiku begitu jelas ideologi
rupiah. Serta bait ketiga pada baris terakhir yang berbunyi, “ asas tunggalku memang keserakahan”.
Isi puisi ini menggambarkan bahwa
para penguasa dan pengusaha sudah menjadi darah daging dalam kehidupannya hanya
memikirkan uang saja. Tujuan hidupnya hanya sebatas uang saja. Inilah contoh
pemimpin yang loba dan tamak sehingga bangsa ini menanggung hutang yang
berkepanjang selagi ada nyawa ditubuh berarti berhutang. Yang dibuat oleh para pejabat
kita. Laporan pertanggungjawaban saja yang mulus, kenyataannya tidak mulus.
Antara DPR dengan Pemirintah sudah berselingkuh akibatnya rakyat jugalah susah
mencari makan.
Seperti judul puisi Grindam Satu
yang berbunyi, “ Secoret parafku memancarkan
komisi seratus juta. Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta. Pada
Gurindam Satu Setengah berbunyi, “ Harimau
mati meninggalkan belang. Pedagang mati meninggalkan hutang. Rakyat mati
meninggalkan belulang.
Puisi ini menunjukkan kepada kita
betapa dahsyatnya perilaku kepemimpin negeri ini tetapi disalahgunakannya ke
jalan nafsu birahinya. Padahal sudah tamat sekolah seharusnya lebih hebat cara
berpikirnya dibandingkan dengan orang tidak bersekolah. Contohnya saja, Nabi
Muhammad SAW tidak bersekolah dari pada orang berpendidikan yang tinggi atau
bermoral yang tinggi. Tahu Dia mana yang hak orang dan mana hak kita. Karena
modal Nabi Muhammad SAW dalam berdagang atau berekonomi dengan modal jujur
sehingga tahu mubah, makruh, sunat, dan wajib. Kalaulah ini diterapkan di dunia
Indonesia ini maka bangsa Indonesia menjadi sejahtera. Modal kepemimpinan
sekarang hanya kapitalis dan liberalis.
Perilaku
Korupsi dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik
Ismail
Di dalam kehidupan berbahasa dalam
rangka menyampaikan sesuatu tentu tidak lepas dari lambing dan kiasan. Untuk
itulah kata. Untuk itulah kata “ korupsi “ banyak mengandung makna ada yang
makna korupsi waktu, korupsi uang, korupsi suara, dan korupsi pemikiran. Kata
korupsi sebanding dengan kata maling/mencuri. Korupsi artinya, sesuatu kegiatan
yang dilakukan tidak sesuai dengan perjanjian awal perundingan baik berjanji
dengan Allah SWT maupun berjanji dengan pemimpin serta berjanji dengan rakyat
itu sendiri. Dengan kata lain, sesuatu pekerjaan dengan nait ingin meraih
keuntungan untuk kita sendiri maupun kelompoknya yang tidak berbasis nilai
Allah SWT adalah dosa. Tetapi orang sekarang tidak takut dengan Tuhannya tetapi
dia lebih takut kepada manusia atau kepada pemimpinnya. Padahal Allah SWT sudah
memberi petunjuk kepada kita, yaitu “ Kalau takut sama manusia dan binatang
buas maka jalan keluarnya adalah lari dan kalau takut dengan Allah SWT jalan
keluarnya adalah mendekat kepada-Nya. Kita sekarang ini lebih banyak berbicara
tentang Allah SWT seharusnya kita lebih banyak berzikir kepada Allah SWT.
Karena berbicara atau berkata Allah belum tentu ingat dengan Allah SWT tetapi
kalau ingat pasti berbicara/berkata kepada-Nya.
Kalau memang takut kepada Allah SWT
mengapa menjamur orang korupsi di departemen pemerintah dan di departemen
swasta. Kalaulah sadar pemimpin kita yang tertinggi sebenarnya bukan presiden
yang mengatur negeri ini, tetapi diatur oleh para koruptor atau para pemaling.
Pemimpin kita mengatakan, “ Mari kita berantas mafia hukum, mafia pajak, mafia
uang”. Ternyata orang hanya mendengar saja pidato presiden tetapi kurang
diamalkan. Sebab mandate yang paling tinggi dipercayakan bidang opersional
adalah Presiden. Hak paten presiden dalam pasal 10 Pancasila, “ Presiden berhak
menyatakan perang”. Apalagi memerintahkan kepada bawahannya untuk jangan
korupsi. Itu sebenarnya tidak hambatan tetapi ternyata tak bisa. Berarti lebih
hebat bawahannya dari pada Presiden dalam hal ini. Kalau Presiden tidak ada
kepentingan di situ maka Presiden langsung saja mengatakan kepada bawahannya,
yaitu “ siapa yang korupsi langsung tangkap tidak perlu minta pertimbangan dari
Presiden “.
“ Kalau takut digelombang jangan
berumah di tepi pantai”. Maksudnya secara denotatif bahwa bukan gelombang yang
dianalisis/dikaji tetapi cara orang membuat rumah tepi pantai itu diberikan
tunjuk ajar. Kalau gelombang itu buatan Allah SWT sedangkan rumah di tepi
pantai adalah buatan manusia. Dengan perkataan lain, kita jangan takut dengan
para pemaling atau pencuri alias koruptor asal para pemimpin jangan sempat
termakan budi sama pemaling tsb yang berupa sumbangan. Maka lidah pemimpin itu
selalu di atas lidah para koruptor.
Para pemimpin itu sebenarnya tidak
terlepas memegang amanah. Amanah itu tiga unsure, yaitu amanah dengan Allah
SWT, amanah dengan Nabi Muhammad SAW, dan amanah dengan rakyat. Sebab sebesar
biji bayam besok akan dipertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Di dunia saja
sudah terlihat kacau balaunya pemecahan atau penyelesaian masalah jarang mulus apalagi
sisi Allah SWT besok. Seperti tertera dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul “
Kotak Suara “, yaitu pada bait
pertama, “ Di sebuah kerajaan
dilangsungkan pemilihan. Di sebuah pemilihan dilakukan penghitungan. Di sebuah
penghitungan berlangsung keajaiban. Di sebah keajaiban semua mata ditutupkan”.
Bait kedua, “ berbagai ilmu diterapkan mentabulasinya. Matematika, statisika,
dan retorika. Berbagai aplikasi.
Di dalam pemilihan umum
kadang-kadang ada juga korupsi suara atau makelar suara. Makelar suara terjadi
disebabkan oleh seseorang yang bernafsu menguasai jabatan yang tertinggi itu
maka sanggup berbuat melanggar hukum positif Indonesia. Padahal dia sudah
bersumpah dengan Tuhan Yang Mahaesa tetapi dia tetap berbuat. Jadi, hukum
apalagi yang harus diterapkan kepada penyandang pangkat jabatan. Seperti yang
tergambar dalam puisi “ Kotak Suara “ pada bait kelima yang berbunyi “ Di akarnya ada angka seratus ribu. Naik ke
batang jadi seratus ribu. Terus ke ranting jadi setengah juta. Sampai di puncak
jadi sejuta. Ajaib, angka-angka beranaknya luar biasa. Dan pada bait keenam
berbunyi, “ Di dalam kotak suara.
Angka-angka saling bertanya asal-asul satu dan lainnya. Mereka berselisih
pendapat dan berkelahi sesamanya. Angka-angka sikut-menyikut , puluk-memukul.
Angak-angka tampar-menampar, gebuk –menggebuk”.
Perilaku Suap
dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia “ Karya Taufik Ismail
Pada umumnya, para pemimpin
kita seolah-olah ber-Tuhan kepada uang daripada ber-Tuhan kepada Allah SWT.
Sehingga dalam kehidupan berbangsa sulit kita membedakan mana orang
berpenghasilan yang berbasis keringatnya sendiri atau mengharapkan bantuan
orang lain dengan caa-cara negatif. Isu suap sebenarnya tidak rahasia khusus
lagi tetapi sudah menjadi suap yaitu tentang proses penjualan tanah, KTP dalam
memperlancarkan pengurusannya. Seperti yang tertera dalam puisi Taufik Ismail
yang berjudul, “ Enam Juklak Kleptokrasi kepada S. Jalil. Pada bait kelima dan
keenam yang berbunyi, “ Suapan uang lebih
mangkus ketimbang ancaman nyawa. Namun bagaimana juga laksanakan dua-dua. Ada
10 jurus penyuapan, 10 teknik pengancaman. Siapkan senyuman sesuai acara
pembantaian. Dan bait keenam yang berbunyi, “ Jangan ada yang kurang kenyang dan tak puas diri , jangan ada yang
keluar dari lingkaran ini. Matahari tenggelam, matahari terbit lagi. Program
harus terus direvisi dan direvisi
Perilaku
Keserakahan Penguasa dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia
Karya Taufik Ismail
Keserakahan penguasa dari hari ke
hari bulan ke bulan tahun ke tahun terus berjalan dengan bik. Sehingga
keserakahan itu seolah-olah sudah menjadi budaya bangsa. Padahal keserakahan
itu menurut hati nurani rakyat tidak setuju. Maka para penguasa pada umumnya
selalu berlindung dengan bahasa yang indah sehingga rakyat menjadi tercengang
dari pidato para pejabat. Para sarjana pada umumnya, tak ubah seperti pipa saja
berbeda dengan dengan sarjana zaman dulu. Zaman dahulu dapat membedakan warna
hitam dengan putih. Sedangkan sekarang pemimpin hanya kurang mampu membedakan
warna hitam dengan putih. Maksudnya, pemimpin sekarang ingin mengumpulkan harta
sebanyak mungkin semasa dia memegang jabatan. Cobalah dihayati yang terjadi di
Indonesia ini, rata-rata setiap provinsi mengalami kerusuhan yang menghanguskan
fasilitas-fasilitas umum. Ini disebabkan oleh para pemimpin rakus terhadap uang
karena uang dianggapnya sebagai tujuan padahal uang itu sebagai salah satu
sarana/alat untuk mencapai kebahagian duniawi saja. Pada umumnya, pemimpin suda
dikunci mati hatinya terhadap kebenaran Ilahi maka melahirkan keserakahan dalam
hidupnya.
Minyak, kayu, oksigen, batu bara,
sudah mulai terkuras/habis/rusak disebabkan oleh orang dipercayakan oleh
rakyatnya sehingga tidak meninggalkan untuk anak cucu. Di Indonesia ini hasil
buminya atau SDA cukup banyak Cuma saja SDM kurang terampil memfasilitasnya.
Seperti yang tertuang dalam puisi, “ Seratus Juta “. Pada bait pertama, yang
berbunyi, “ Ummat miskin dan penganggur
berdiri hari ini. Seratus juta banyaknya, tampaknya olehmu wajah mereka di
tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa. Kini ketundukkan kepala, karena.
Ada sesuatu besar luar bias. Hilang terasa dari rongga dada. Saudaraku yang
sirna nafkah, tanpa kerja berdiri di sini. Saudara kita yang sempit rezeki ,
terbungkuk hari ini. Di belakang mereka tegak anak dan isteri berjuta-juta.
Berates ribu saf bejajar susunya. Sampai ke kakilangit khatulistiwa. Tak ada
lagi tempat tersedia. Di kantor, pabrik dan took bagi mereka. Dan jadi semestalah
ini sengsara. Anak-anak tercerabut dari pendidikan. Penyakit dan obat, sejarak
utara dan selatan. Cicilan kredit terlantar berantakan. Bilakah gerangan
terbuka gerbang pkerjaan. Suram, suramnya langit keadaan . Nestapa, nestapanya
cuaca bangsa. Kini ketundukkan kepala, karena ada sesuatu besar luar biasa.
Hilang terasa dari rongga dada.
Perilaku
Indokrinasi dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik
Ismail
Para pemimpin pada umumnya memberi
tunjuk ajar kepada rakyatnya supaya dalam hidup ini harus berbasis Pancasila.
Dalam hal ini, rakyat disuruh mencintai rupiah jangan mencintai dolar. Tetapi
kenyataannya para pejabat di Indonesia lebih banyak menanam saham di bank di
luar negeri. Seolah-olah rakyat disuruh untuk miskin sedangkan dia
bermewah-mewah dengan bunga bank luar negeri. Sampai-sampai yang dimakan dan
yang dipakai rakyat harus produk Indonesia serta perabot dalam negeri sedangkan
dia memakai simbol-simbol luar negeri. Seperti yang disindir oleh Taufik Ismail
dalam puisinya yang berjudul, “ Cinta Rupiah” pada bait kelima dan keenam,
yaitu, “ Wajah-wajah kaya luarbiasa
menukarkan uang Amerika. Seujung jari kaki mereka diperagakan di layar kaca.
Seluruh negeri curiga semua tayangan itu riya dan dusta. Bagi kami yang miskin,
adegan itu makin memedihkan mata dan Pemuka negeri ini pura-pura saja
Pancasila. Pemerintah mencintai rupiah tulen materialistis dan sebabenda.
Membela rupiah bolehlah, itu bagian dari bela bangsa. Di tivi semboyan muncul
lagi, hamper muntahku menutup layarnya “.
Ini tunjuk ajar yang salah, rakyat
disuruh untuk menggemakan seseorang pemimpin yang makin lama memimpin negeri
ini maka semua rakyat dibuat otak dan hatinya menyanjung /memuji-memuji tokoh
ini sehingga lahirlah julukan-julukan yang maha dahsyat, yaitu Bapak
Pembangunan, Bapak Besar Revolusi. Dengan gelar itulah ada seklompok orang yang
kurang suka dengan mengangkat gelar itulah ada sekelompok orang yang kurang
suka dengan mengangkat gelar karena karena berselimut dengan gelar itu maka
rakyat Indonesia bungkam dan dilanda miskin dari tahun ke tahun sampai
sekarang. Kompas, 15 April 2006 halaman 34 mengatakan bahwa jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 35,1 jiwa orang. Angka ini lebih
baik dibandingkan tahun 2000, terdapat 38,7 juta penduduk miskin. Tetapi angka
pengangguran terbuka bertambah. Pada tahun 2000 hanya ada 5,8 jiwa orang
pengangguran terbuka, sementara pada tahun 2005 menjadi 10,9 usia produktif
yang menganggur. Akibat banyak orang yang menganggur disebabkan oleh sistem
pembangunan Indonesia lebih banyak beroreintasi kepada orang yang memimpin
sehingga bertuhan kepada pemimpin saat itu. Seharusnya berbasis sistem.
Sehingga menjadi cerita yang berkelanjutan bagi anak cucu kita. Seperti apa
yang disindir oleh Taufik Ismail dalam puisi, “ Bersyukur, bersykurlah”, yaitu:
“ Bersyukurlah San, kau tak
ikutan-ikutan. Mempersembahkan gelar Pemimpin Besar Revolusi bersyukurlah.
Bersyukurlah. Bersykurlah San, kau tak tak turut-turutkan. Menjujungkan gelar
Bapak Pembangun. Bersyukur. Bersyukur San, kau tak terpikat kedudukan. Jadi
anggota MPR mewakili seniman. Bersykurlah. Bersyukurlah San, kau menolak buku
larangan dan cekal pementasan. Pegal lehermu melobi terus-terusan.
Bersyukurlah. Sehingga bila keturunan kelak bertanya. Waktu lama dulu kakek
tegak di mana. Engkau agak selesa bias bercerita”.
Perilaku
Kecurangan Pemilu dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya
Taufik Ismail
Kecurangan pemilu terjadi di
mana-mana, terjadi kecurangan pemilu disebabkan oleh para calon pemimpin itu
punya kepentingan tertentu yaitu ingin menjadi orang suka dipuji dan ingin
menguasai daerah paling luas supaya Nampak hebat serta ingin memperkaya diri
sendiri. Cuma slogannya tidak tanggung-tanggung seperti menciptakan perdamaian,
mencerdaskan perdamaian,mencerdaskan
bangsa, menciptakan lapangan pekerjaan , membanbgkitkan potensi daerah setempat
dan menciptakan perdagangan agar rakyat menjadi adil dan makmur. Insya Allah,
sampai sekarang bukan rakyat yang maju dan kaya tetapi pemimpin yang lolos dari
sistem penipuan suara.
Negara ini diibaratkan seperti singa
dan rakyat diibaratkan seperti kucing. Maksudnya, pemerintah ini kalau diberi
kritik dan saran dari rakyat seolah-olah didengar tetapi tidak dilaksanakan.
Sebaliknya, kalau pemerintah yang membuat keputusan justru harus wajib
dilaksanakan maka tidak terjadi musyawarah.
Pasal keempat, “ Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan. Konsep ini
hanya slogan belaka tetapi mampu juga membuat kecurangan dalam pemilu. Maka
solusinya, cukup saja orang-orang mempunyai intelektualitas yang tinggi yang
berunding untuk memilih calon pemimpin. Karena dengan cara ini, dapat menghemat
biaya, tenaga, pemikiran, dan waktu. Dengan sistem suara orang gila pun diambil
agar suara menjadi banyak. Sebab faktor jumlah belum menunjukkan mutu/kualitas
tetapi kulaitas menunjukkan kuantitas. Seperti yang tertuang dalam puisi Taufik
Ismail berjudul “ Kotak Suara “ pada bait keenam yang berbunyi, “ Dia dalam kota suara. Angka-angka saling
bertanya asal-usul satu dan lainnya. Mereka berselisih pendapat, dan berkelahi
sesamanya. Angka-angka sikut-menyikut, pukul-memukul. Angka-angka
tampar-menampar, gebuk-menggebuk. Dan bait ketujuh yang berbunyi, yaitu “ Mereka berkelahi berlari-lari. Kotak itu
terbayang ke kanan dan ke kiri. Angka-angka capek, tergeletak kini. Inilah
kisah berikutnya tentang mereka yang mengembara. Dan bait kesebelas yang
berbunyi “ Ada angka lainnya terbang
kesawan, turun sebagai hujan. Masuk ke sungai mengalir dan banjir. Banjir itu
mengsorkan pertebingan, mematahkan jembatan. Menutup persawahan, menghanyutkan
pergubukan. Dan menggasak perkotaan.
Perilaku
Pengingkaran Undang-Undang Dasar dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia
Karya Taufik Ismail
Dalam kehidupan bernegara ini,
yang masih bersemangat yang tinggi melaksanakanpesan-pesan yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar adalah pada zaman Sukarno dan Hatta. Dari zaman Suharto,
zaman Habibie, zaman Megawati, zaman Gusdur dan zaman SBY ada kecenderungan menurunnya semangat untuk
melaksanakan pesan Undang-Undang Dasar.Yang paling fatal pada zaman sekarang
katanya negara adalah negara hukum. Berarti semua orang di depan hukum adalah
sama tanpa terkuacuali. Ternyata dalam prakteknya tidak sesuai dengan hukum
tertulis itu. Tidak ada rahasia lagi. Contohnya, kejadian yang terjadi pada
pasangan suami istri tuna netra ( buta keduanya ) ditangkap oleh polisi dan
diajukan ke Jaksa terakhir dipersidangan diputuskan oleh hakim dengan hukuman
15 tahun penjara. Yang paling mudah dijebloskan ke penjara adalah orang-orang
miskin atau melarat tetapi orang kaya atau pejabat melakukan tindak pidana
paling banyak pembelanya. Inilah potret hukum Indonesia, yaitu hukum itu tajam
ke bawah. Kelemahan hukum di Indonesia adalah dia ( pelaksana hukum ) memandang
hukum itu secara normatif atau hukum teks/tertulis kurang memperhatikan aspek
sosial, sosiologis, aspek budaya, agama di dalam memutuskan perkara. Akibatnya,
menjadi kerusuhan selesai persidangan. Maka kita malu menjadi orang Indonesia
kalau pelaksanaannya seperti ini.
Seperti pada puisi Taufik Ismail
yang berjudul, “ Malu ( Aku Jadi Orang Indonesia “ pada bait keempat belas yang berbunyi, “ Dinegriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan
syahidah. Ciumlah harum aroma mereka punya jenazah sekarang saja sementara
mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam
akhirat akan diinjak dan dikunyah lumat-lumat.. Dan pada bait kesepuluh
yang berbunyi, “ Di negeriku ada
pembunuhan penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung
Priok, Lampung, Haur, Koeng, Nifah, Santa Cruz, Irian, dan Bayuwangi, ada pula
pembatahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya
surya terang- terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari
tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan , dan
matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan.
Pada bait keduapuluh satu yang berbunyi, “ Di
negeriku budi pekerti mulai di dalam kitab masih ada tapi dalam kehidupan
sehar-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukkan jerami selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh di atas negeriku berserak-serak, hukum tak tegak, doyang
berderak – gerak. Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, lebuh Tun
Razak. Berjalan aku di Sixh Aveneu, Maydan Tahrir dan Ginza. Berjalan aku di
Dam, Champs Elysees dan Mesopotania. Di sela khalayak aku berlindung di
belakang hitam kacamata. Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu Jadi Orang
Indonesia.
Orang Indonesia pada umumnya kadar
malunya sudah menurun, yang khususnya para pemimpin kita seolah-olah tidak rasa
malu. Cobalah bayangkan di DPR dulunya pernah ditayang di sebuah televisi Indonesia salah seorang anggota DPR RI
berbuat maksiat di kantornya dengan bawahannya ( wanita ). Orang seperti ini
sudah hilang rasa malunya dengan Allah SWT dengan nabi Muhammad SAW, dengan
gurunya, dan dengan dirinya sendiri. Maka lahir sebuah ungkapan yang jarang
terpikirkan oleh kita, “ Binatang dengan sifat kebinatangannya melahirkan
rahmat sedangkan kita dengan sifat kebinatangan melahirkan malapetaka/musibah.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis antologi
puisi Karya Taufik Ismail yang berjudul, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia “.
Maka kesimpulannya sebagai berikut di bawah ini:
1.
Ada
kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai
budaya berpikirnya secara pramatis atau mencari solusi instan atau cepat saji
2.
Ada
kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah sudah mulai menciptakan
budaya hidup berhutang setiap warga bangsa dari generasi ke generasi.
3.
Ada
kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai
budaya berpikirnya secara distorsy atau
penyimpangan makna.
4.
Ada
kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai
budaya berpikirnya kurang mendorong kepada pihak hukum untuk memprosesnya di
hadapan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Jabrohim
(ed), 2014. Teori Penelitian Sastra.
Junus,
Umar, 1985. Dari Imajinasi Ke Imajinasi
Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. 1985. Jakarta: Gramedia.
Munsi,
Alf Danya, 2005. Bahasa Menunjukkan
Bangsa. Jakarta: Gramedia.
Pradopo,
Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. 1997.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna,
Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwandi,
Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar Kajian
Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.