Sabtu, 19 Oktober 2019

Analisis Potret Kehidupan Berbangsa dalam Antologi Puisi " Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail


ANALISIS POTRET KEHIDUPAN BERBANGSA DALAM ANTOLOGI PUISI
“ MALU AKU JADI ORANG INDONESIA “ KARYA TAUFIQ ISMAIL




PENDAHULUAN
            Kehidupan berbangsa di Indonesia berdasarkan sistem Pancasila. Ternyata dalam praktiknya ada kecenderungan kurang terjalin dengan baik. Yang lebih banyak dilaksanakan adalah bersifat serimonial saja bukan diterjemahan dalam praktik prilaku kehidupan berbangsa. Dengan perkataan lain, bangsa Indonesia ini lebih banyak berlomba dalam pembacaan teks tetapi jarang berlomba dalam melaksanakan isi Pancasila yang sudah diwariskan oleh pemimpin terdahulu.
            Cobalah dibayangkan atau direnungkan pada hari ini, mulai pada tataran yang paling tinggi yaitu Presiden sampai pada tataran bawah, yaitu rakyat biasa seolah-olah negeri ini tidak punya tuan maka yang terlihat hanya siapa yang kuat itulah diakui kebenarannya. Dan rakyat bernyanyi atau menyebarkan kebenaran itu tidak mendapat yang terhaormat dimata penguasa. Seperti cerita “ Singapora Dilanggar Todak “. Artinya, pemimpin yang sudah kewalahan menghadapi ikan todak yang selalu menyerang walayahnya. Akhirna, budak kecil yang memberikan saran yang terbaik, pemimpin tersebut mampu menerima pendapat sang kecil yang menerima pendapat sang kecil itu tetapi setelah berhasil sang kecil, dimata pemimpin tersebut merasa malu dihadapan rakyatnya maka pemimpin ( raja) itu disuruhnya pasukannya untuk membunuh sang budak itu. Dengan patuh pasukannya maka dibunuh. Ini menunjukkan budaya pemimpin dulu dengan pemimpin sekarang tidak boleh disarankan atau diberi tunjuk ajar. Karena pemimpin sekarang merasa dapat menguasai semua disiplin ilmu. Padahal tidak seperti itu.
            Waktu mencari suara agar dia terpilih untuk memimpin negeri ini seperti pengemis. Setelah berhasil maka janji diucapkan kepada rakyat tida ada yang terkabulkan hanya dalam khayalan benak rakyat saja. Kalau mau mendengar dan melihat tunjuk ajar nabi Muhammad SAW, yaitu jujur. Ketidakjujuran negeri ini menjamur KKN atau banyak yang bermasnis mulut di depan rakyat tetapi tidak bermanis dalam hatinya.
            Penyakit yang paling mendasar adalah kita pada umumnya sudah jauh dengan Allah SWT seharusnya dekat dengan Allah SWT. Sebab tidak dekat Allah SWT maka melahirkan sifat rakus alias tamak. Ingin menguasai semuanya padahal kemampuannya tidak mampu tetapi dipaksa juga.
            Di dalam antologi puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Karya Taufik Ismail menggambarkan bahwa perilaku negatif seperti pragmatisme, utang Indonesia, korupsi, suap, keserakahan penguasa, indokrinasi, kecurangan pemilu, pengingkaran Undang – Undang Dasar 1945. Sebaliknya perilaku yang positif seperti kejujuran, taubat, kepahlawanan, reformasi, dan demokrasi.
            Kehidupan berbangsa di Indonesia baik antara pemimpin dengan rakyatnya kurang sejalan karena rakyat dihujani janji dalam rangka meraih suara setelah memperoleh suara terbanyak maka waktu diangkat barulah dengan bersumpah dengan Allah SWT melalui Alquran. Itu kan hanya melalui orang yang membaca sumpahnya dan dia hanya mengulanginya sebenaranya kurang valid. Seharusnya, dia bersumpah atas bahasanya sendiri dengan melibatkan Allah SWT maka hasilnya akan membawa dampak yang positif.
Pembahasan
Perilaku Pragmatisme dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Judul puisi “ 12 Mei 1988:. Mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Puisi ini menggambarkan kepada kita betapa mudahnya pemimpin kita menyuruh anak buahnya untuk memberanikan diri menembak mahasiswa yang masih belum terkontaminasi paham- paham Yahudi itu. Karena Hukum di negara kita itu tidak ada perintah menembak manusia. Cobalah pikirkan secara sadar dalam teks hukum itu tidak ada satu kalimat menembak manusia. Sedangkan binatang saja punya perhitungan bukan sembarangan tembak saja. Menurut Undang- Undang Dasar, kita di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sehingga tidak menimbulkan korban sperti dalam bait puisi 12 Mei 1998 yang pertama. “ Empat suhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu- sedan” . Dan bait keenam yang berbunyi, “ Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama dan kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.”.
            Berdasrkan pernyataan puisi di atas, melukiskan suasana kesdihan yang mendalam dari sebab pemimpin yang ingin memenuhi kepentingan secara praktis atau kotemporer. Padahal mahasiswa jiwa bersih. Kalaulah mahasiswa tidak demontrasi ke jalan raya secara praktis maka sistem kehidupan berbangsa tidak dapat yang kita rasakan sekarang ini. Ada orang yang berpandangan sempit bahwa mahasiswa demontrasi itu membawa kerugian yang besar untuk negara ini. Sebaliknya, ada orang berpandangan luas bahwa mahasiswa membawa dampak positif. Dengan kata lain, ada orang yang baik belum pernah memegang jabatan di suatu instansi mendapat jabatan disebabkan oleh mahasiswa demontrasi. Cobalah bayangkan mahasiswa telah mati memperjuangkan nasib bangsa ini dan orang menikmati hasilnya.
Perilaku Berhutang Bangsa Indonesia dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Indonesia”. Karya Taufik Indonesia.
            Puisi “ Syair Empat Kartus di Tangan “ bait pertama yang berbunyi, “ Ini bicara blak- blakan saja, bang. Buka kartu tampak tampang. Sehingga semua jelas membayang. Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang”. Dan bait kedua yang berbunyi, “ Sudahlah, kabukaan saja kita bicara. Koyak tampak terkubak semua sehingga buat apa basi dan basa. Sila kami Keuangan Yang Maha Esa. Dan bait ketiga pada baris terakhir yang berbunyi, “ Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah. Serta bait ketiga pada baris terakhir yang berbunyi, “ asas tunggalku memang keserakahan”.
            Isi puisi ini menggambarkan bahwa para penguasa dan pengusaha sudah menjadi darah daging dalam kehidupannya hanya memikirkan uang saja. Tujuan hidupnya hanya sebatas uang saja. Inilah contoh pemimpin yang loba dan tamak sehingga bangsa ini menanggung hutang yang berkepanjang selagi ada nyawa ditubuh berarti berhutang. Yang dibuat oleh para pejabat kita. Laporan pertanggungjawaban saja yang mulus, kenyataannya tidak mulus. Antara DPR dengan Pemirintah sudah berselingkuh akibatnya rakyat jugalah susah mencari makan.
            Seperti judul puisi Grindam Satu yang berbunyi, “ Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta. Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta. Pada Gurindam Satu Setengah berbunyi, “ Harimau mati meninggalkan belang. Pedagang mati meninggalkan hutang. Rakyat mati meninggalkan belulang.
            Puisi ini menunjukkan kepada kita betapa dahsyatnya perilaku kepemimpin negeri ini tetapi disalahgunakannya ke jalan nafsu birahinya. Padahal sudah tamat sekolah seharusnya lebih hebat cara berpikirnya dibandingkan dengan orang tidak bersekolah. Contohnya saja, Nabi Muhammad SAW tidak bersekolah dari pada orang berpendidikan yang tinggi atau bermoral yang tinggi. Tahu Dia mana yang hak orang dan mana hak kita. Karena modal Nabi Muhammad SAW dalam berdagang atau berekonomi dengan modal jujur sehingga tahu mubah, makruh, sunat, dan wajib. Kalaulah ini diterapkan di dunia Indonesia ini maka bangsa Indonesia menjadi sejahtera. Modal kepemimpinan sekarang hanya kapitalis dan liberalis.
Perilaku Korupsi dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Di dalam kehidupan berbahasa dalam rangka menyampaikan sesuatu tentu tidak lepas dari lambing dan kiasan. Untuk itulah kata. Untuk itulah kata “ korupsi “ banyak mengandung makna ada yang makna korupsi waktu, korupsi uang, korupsi suara, dan korupsi pemikiran. Kata korupsi sebanding dengan kata maling/mencuri. Korupsi artinya, sesuatu kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan perjanjian awal perundingan baik berjanji dengan Allah SWT maupun berjanji dengan pemimpin serta berjanji dengan rakyat itu sendiri. Dengan kata lain, sesuatu pekerjaan dengan nait ingin meraih keuntungan untuk kita sendiri maupun kelompoknya yang tidak berbasis nilai Allah SWT adalah dosa. Tetapi orang sekarang tidak takut dengan Tuhannya tetapi dia lebih takut kepada manusia atau kepada pemimpinnya. Padahal Allah SWT sudah memberi petunjuk kepada kita, yaitu “ Kalau takut sama manusia dan binatang buas maka jalan keluarnya adalah lari dan kalau takut dengan Allah SWT jalan keluarnya adalah mendekat kepada-Nya. Kita sekarang ini lebih banyak berbicara tentang Allah SWT seharusnya kita lebih banyak berzikir kepada Allah SWT. Karena berbicara atau berkata Allah belum tentu ingat dengan Allah SWT tetapi kalau ingat pasti berbicara/berkata kepada-Nya.
            Kalau memang takut kepada Allah SWT mengapa menjamur orang korupsi di departemen pemerintah dan di departemen swasta. Kalaulah sadar pemimpin kita yang tertinggi sebenarnya bukan presiden yang mengatur negeri ini, tetapi diatur oleh para koruptor atau para pemaling. Pemimpin kita mengatakan, “ Mari kita berantas mafia hukum, mafia pajak, mafia uang”. Ternyata orang hanya mendengar saja pidato presiden tetapi kurang diamalkan. Sebab mandate yang paling tinggi dipercayakan bidang opersional adalah Presiden. Hak paten presiden dalam pasal 10 Pancasila, “ Presiden berhak menyatakan perang”. Apalagi memerintahkan kepada bawahannya untuk jangan korupsi. Itu sebenarnya tidak hambatan tetapi ternyata tak bisa. Berarti lebih hebat bawahannya dari pada Presiden dalam hal ini. Kalau Presiden tidak ada kepentingan di situ maka Presiden langsung saja mengatakan kepada bawahannya, yaitu “ siapa yang korupsi langsung tangkap tidak perlu minta pertimbangan dari Presiden “.
            “ Kalau takut digelombang jangan berumah di tepi pantai”. Maksudnya secara denotatif bahwa bukan gelombang yang dianalisis/dikaji tetapi cara orang membuat rumah tepi pantai itu diberikan tunjuk ajar. Kalau gelombang itu buatan Allah SWT sedangkan rumah di tepi pantai adalah buatan manusia. Dengan perkataan lain, kita jangan takut dengan para pemaling atau pencuri alias koruptor asal para pemimpin jangan sempat termakan budi sama pemaling tsb yang berupa sumbangan. Maka lidah pemimpin itu selalu di atas lidah para koruptor.
            Para pemimpin itu sebenarnya tidak terlepas memegang amanah. Amanah itu tiga unsure, yaitu amanah dengan Allah SWT, amanah dengan Nabi Muhammad SAW, dan amanah dengan rakyat. Sebab sebesar biji bayam besok akan dipertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Di dunia saja sudah terlihat kacau balaunya pemecahan atau penyelesaian masalah jarang mulus apalagi sisi Allah SWT besok. Seperti tertera dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul “ Kotak Suara “, yaitu pada bait pertama, “ Di sebuah kerajaan dilangsungkan pemilihan. Di sebuah pemilihan dilakukan penghitungan. Di sebuah penghitungan berlangsung keajaiban. Di sebah keajaiban semua mata ditutupkan”. Bait kedua, “ berbagai ilmu diterapkan mentabulasinya. Matematika, statisika, dan retorika. Berbagai aplikasi.
            Di dalam pemilihan umum kadang-kadang ada juga korupsi suara atau makelar suara. Makelar suara terjadi disebabkan oleh seseorang yang bernafsu menguasai jabatan yang tertinggi itu maka sanggup berbuat melanggar hukum positif Indonesia. Padahal dia sudah bersumpah dengan Tuhan Yang Mahaesa tetapi dia tetap berbuat. Jadi, hukum apalagi yang harus diterapkan kepada penyandang pangkat jabatan. Seperti yang tergambar dalam puisi “ Kotak Suara “ pada bait kelima yang berbunyi “ Di akarnya ada angka seratus ribu. Naik ke batang jadi seratus ribu. Terus ke ranting jadi setengah juta. Sampai di puncak jadi sejuta. Ajaib, angka-angka beranaknya luar biasa. Dan pada bait keenam berbunyi, “ Di dalam kotak suara. Angka-angka saling bertanya asal-asul satu dan lainnya. Mereka berselisih pendapat dan berkelahi sesamanya. Angka-angka sikut-menyikut , puluk-memukul. Angak-angka tampar-menampar, gebuk –menggebuk”.
Perilaku Suap dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia “ Karya Taufik Ismail
            Pada umumnya, para pemimpin kita seolah-olah ber-Tuhan kepada uang daripada ber-Tuhan kepada Allah SWT. Sehingga dalam kehidupan berbangsa sulit kita membedakan mana orang berpenghasilan yang berbasis keringatnya sendiri atau mengharapkan bantuan orang lain dengan caa-cara negatif. Isu suap sebenarnya tidak rahasia khusus lagi tetapi sudah menjadi suap yaitu tentang proses penjualan tanah, KTP dalam memperlancarkan pengurusannya. Seperti yang tertera dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul, “ Enam Juklak Kleptokrasi kepada S. Jalil. Pada bait kelima dan keenam yang berbunyi, “ Suapan uang lebih mangkus ketimbang ancaman nyawa. Namun bagaimana juga laksanakan dua-dua. Ada 10 jurus penyuapan, 10 teknik pengancaman. Siapkan senyuman sesuai acara pembantaian. Dan bait keenam yang berbunyi, “ Jangan ada yang kurang kenyang dan tak puas diri , jangan ada yang keluar dari lingkaran ini. Matahari tenggelam, matahari terbit lagi. Program harus terus direvisi dan direvisi
Perilaku Keserakahan Penguasa dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail
            Keserakahan penguasa dari hari ke hari bulan ke bulan tahun ke tahun terus berjalan dengan bik. Sehingga keserakahan itu seolah-olah sudah menjadi budaya bangsa. Padahal keserakahan itu menurut hati nurani rakyat tidak setuju. Maka para penguasa pada umumnya selalu berlindung dengan bahasa yang indah sehingga rakyat menjadi tercengang dari pidato para pejabat. Para sarjana pada umumnya, tak ubah seperti pipa saja berbeda dengan dengan sarjana zaman dulu. Zaman dahulu dapat membedakan warna hitam dengan putih. Sedangkan sekarang pemimpin hanya kurang mampu membedakan warna hitam dengan putih. Maksudnya, pemimpin sekarang ingin mengumpulkan harta sebanyak mungkin semasa dia memegang jabatan. Cobalah dihayati yang terjadi di Indonesia ini, rata-rata setiap provinsi mengalami kerusuhan yang menghanguskan fasilitas-fasilitas umum. Ini disebabkan oleh para pemimpin rakus terhadap uang karena uang dianggapnya sebagai tujuan padahal uang itu sebagai salah satu sarana/alat untuk mencapai kebahagian duniawi saja. Pada umumnya, pemimpin suda dikunci mati hatinya terhadap kebenaran Ilahi maka melahirkan keserakahan dalam hidupnya.
            Minyak, kayu, oksigen, batu bara, sudah mulai terkuras/habis/rusak disebabkan oleh orang dipercayakan oleh rakyatnya sehingga tidak meninggalkan untuk anak cucu. Di Indonesia ini hasil buminya atau SDA cukup banyak Cuma saja SDM kurang terampil memfasilitasnya. Seperti yang tertuang dalam puisi, “ Seratus Juta “. Pada bait pertama, yang berbunyi, “ Ummat miskin dan penganggur berdiri hari ini. Seratus juta banyaknya, tampaknya olehmu wajah mereka di tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa. Kini ketundukkan kepala, karena. Ada sesuatu besar luar bias. Hilang terasa dari rongga dada. Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri di sini. Saudara kita yang sempit rezeki , terbungkuk hari ini. Di belakang mereka tegak anak dan isteri berjuta-juta. Berates ribu saf bejajar susunya. Sampai ke kakilangit khatulistiwa. Tak ada lagi tempat tersedia. Di kantor, pabrik dan took bagi mereka. Dan jadi semestalah ini sengsara. Anak-anak tercerabut dari pendidikan. Penyakit dan obat, sejarak utara dan selatan. Cicilan kredit terlantar berantakan. Bilakah gerangan terbuka gerbang pkerjaan. Suram, suramnya langit keadaan . Nestapa, nestapanya cuaca bangsa. Kini ketundukkan kepala, karena ada sesuatu besar luar biasa. Hilang terasa dari rongga dada.
Perilaku Indokrinasi dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Para pemimpin pada umumnya memberi tunjuk ajar kepada rakyatnya supaya dalam hidup ini harus berbasis Pancasila. Dalam hal ini, rakyat disuruh mencintai rupiah jangan mencintai dolar. Tetapi kenyataannya para pejabat di Indonesia lebih banyak menanam saham di bank di luar negeri. Seolah-olah rakyat disuruh untuk miskin sedangkan dia bermewah-mewah dengan bunga bank luar negeri. Sampai-sampai yang dimakan dan yang dipakai rakyat harus produk Indonesia serta perabot dalam negeri sedangkan dia memakai simbol-simbol luar negeri. Seperti yang disindir oleh Taufik Ismail dalam puisinya yang berjudul, “ Cinta Rupiah” pada bait kelima dan keenam, yaitu, “ Wajah-wajah kaya luarbiasa menukarkan uang Amerika. Seujung jari kaki mereka diperagakan di layar kaca. Seluruh negeri curiga semua tayangan itu riya dan dusta. Bagi kami yang miskin, adegan itu makin memedihkan mata dan Pemuka negeri ini pura-pura saja Pancasila. Pemerintah mencintai rupiah tulen materialistis dan sebabenda. Membela rupiah bolehlah, itu bagian dari bela bangsa. Di tivi semboyan muncul lagi, hamper muntahku menutup layarnya “.
            Ini tunjuk ajar yang salah, rakyat disuruh untuk menggemakan seseorang pemimpin yang makin lama memimpin negeri ini maka semua rakyat dibuat otak dan hatinya menyanjung /memuji-memuji tokoh ini sehingga lahirlah julukan-julukan yang maha dahsyat, yaitu Bapak Pembangunan, Bapak Besar Revolusi. Dengan gelar itulah ada seklompok orang yang kurang suka dengan mengangkat gelar itulah ada sekelompok orang yang kurang suka dengan mengangkat gelar karena karena berselimut dengan gelar itu maka rakyat Indonesia bungkam dan dilanda miskin dari tahun ke tahun sampai sekarang. Kompas, 15 April 2006 halaman 34 mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 35,1 jiwa orang. Angka ini lebih baik dibandingkan tahun 2000, terdapat 38,7 juta penduduk miskin. Tetapi angka pengangguran terbuka bertambah. Pada tahun 2000 hanya ada 5,8 jiwa orang pengangguran terbuka, sementara pada tahun 2005 menjadi 10,9 usia produktif yang menganggur. Akibat banyak orang yang menganggur disebabkan oleh sistem pembangunan Indonesia lebih banyak beroreintasi kepada orang yang memimpin sehingga bertuhan kepada pemimpin saat itu. Seharusnya berbasis sistem. Sehingga menjadi cerita yang berkelanjutan bagi anak cucu kita. Seperti apa yang disindir oleh Taufik Ismail dalam puisi, “ Bersyukur, bersykurlah”, yaitu: “ Bersyukurlah San, kau tak ikutan-ikutan. Mempersembahkan gelar Pemimpin Besar Revolusi bersyukurlah. Bersyukurlah. Bersykurlah San, kau tak tak turut-turutkan. Menjujungkan gelar Bapak Pembangun. Bersyukur. Bersyukur San, kau tak terpikat kedudukan. Jadi anggota MPR mewakili seniman. Bersykurlah. Bersyukurlah San, kau menolak buku larangan dan cekal pementasan. Pegal lehermu melobi terus-terusan. Bersyukurlah. Sehingga bila keturunan kelak bertanya. Waktu lama dulu kakek tegak di mana. Engkau agak selesa bias bercerita”.
Perilaku Kecurangan Pemilu dalam Antologi Puisi, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia” Karya Taufik Ismail
            Kecurangan pemilu terjadi di mana-mana, terjadi kecurangan pemilu disebabkan oleh para calon pemimpin itu punya kepentingan tertentu yaitu ingin menjadi orang suka dipuji dan ingin menguasai daerah paling luas supaya Nampak hebat serta ingin memperkaya diri sendiri. Cuma slogannya tidak tanggung-tanggung seperti menciptakan perdamaian, mencerdaskan  perdamaian,mencerdaskan bangsa, menciptakan lapangan pekerjaan , membanbgkitkan potensi daerah setempat dan menciptakan perdagangan agar rakyat menjadi adil dan makmur. Insya Allah, sampai sekarang bukan rakyat yang maju dan kaya tetapi pemimpin yang lolos dari sistem penipuan suara.
            Negara ini diibaratkan seperti singa dan rakyat diibaratkan seperti kucing. Maksudnya, pemerintah ini kalau diberi kritik dan saran dari rakyat seolah-olah didengar tetapi tidak dilaksanakan. Sebaliknya, kalau pemerintah yang membuat keputusan justru harus wajib dilaksanakan maka tidak terjadi musyawarah.
            Pasal keempat, “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan. Konsep ini hanya slogan belaka tetapi mampu juga membuat kecurangan dalam pemilu. Maka solusinya, cukup saja orang-orang mempunyai intelektualitas yang tinggi yang berunding untuk memilih calon pemimpin. Karena dengan cara ini, dapat menghemat biaya, tenaga, pemikiran, dan waktu. Dengan sistem suara orang gila pun diambil agar suara menjadi banyak. Sebab faktor jumlah belum menunjukkan mutu/kualitas tetapi kulaitas menunjukkan kuantitas. Seperti yang tertuang dalam puisi Taufik Ismail berjudul “ Kotak Suara “ pada bait keenam yang berbunyi, “ Dia dalam kota suara. Angka-angka saling bertanya asal-usul satu dan lainnya. Mereka berselisih pendapat, dan berkelahi sesamanya. Angka-angka sikut-menyikut, pukul-memukul. Angka-angka tampar-menampar, gebuk-menggebuk. Dan bait ketujuh yang berbunyi, yaitu “ Mereka berkelahi berlari-lari. Kotak itu terbayang ke kanan dan ke kiri. Angka-angka capek, tergeletak kini. Inilah kisah berikutnya tentang mereka yang mengembara. Dan bait kesebelas yang berbunyi “ Ada angka lainnya terbang kesawan, turun sebagai hujan. Masuk ke sungai mengalir dan banjir. Banjir itu mengsorkan pertebingan, mematahkan jembatan. Menutup persawahan, menghanyutkan pergubukan. Dan menggasak perkotaan.
Perilaku Pengingkaran Undang-Undang Dasar dalam Antologi Puisi “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufik Ismail
            Dalam kehidupan bernegara ini, yang masih bersemangat yang tinggi melaksanakanpesan-pesan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar adalah pada zaman Sukarno dan Hatta. Dari zaman Suharto, zaman Habibie, zaman Megawati, zaman Gusdur dan zaman SBY  ada kecenderungan menurunnya semangat untuk melaksanakan pesan Undang-Undang Dasar.Yang paling fatal pada zaman sekarang katanya negara adalah negara hukum. Berarti semua orang di depan hukum adalah sama tanpa terkuacuali. Ternyata dalam prakteknya tidak sesuai dengan hukum tertulis itu. Tidak ada rahasia lagi. Contohnya, kejadian yang terjadi pada pasangan suami istri tuna netra ( buta keduanya ) ditangkap oleh polisi dan diajukan ke Jaksa terakhir dipersidangan diputuskan oleh hakim dengan hukuman 15 tahun penjara. Yang paling mudah dijebloskan ke penjara adalah orang-orang miskin atau melarat tetapi orang kaya atau pejabat melakukan tindak pidana paling banyak pembelanya. Inilah potret hukum Indonesia, yaitu hukum itu tajam ke bawah. Kelemahan hukum di Indonesia adalah dia ( pelaksana hukum ) memandang hukum itu secara normatif atau hukum teks/tertulis kurang memperhatikan aspek sosial, sosiologis, aspek budaya, agama di dalam memutuskan perkara. Akibatnya, menjadi kerusuhan selesai persidangan. Maka kita malu menjadi orang Indonesia kalau pelaksanaannya seperti ini.
            Seperti pada puisi Taufik Ismail yang berjudul, “ Malu ( Aku Jadi Orang Indonesia “ pada  bait keempat belas yang berbunyi, “ Dinegriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah. Ciumlah harum aroma mereka punya jenazah sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dikunyah lumat-lumat.. Dan pada bait kesepuluh yang berbunyi, “ Di negeriku ada pembunuhan penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur, Koeng, Nifah, Santa Cruz, Irian, dan Bayuwangi, ada pula pembatahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang- terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan , dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan. Pada bait keduapuluh satu yang berbunyi, “ Di negeriku budi pekerti mulai di dalam kitab masih ada tapi dalam kehidupan sehar-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukkan jerami selepas menuai padi. Langit akhlak rubuh di atas negeriku berserak-serak, hukum tak tegak, doyang berderak – gerak. Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, lebuh Tun Razak. Berjalan aku di Sixh Aveneu, Maydan Tahrir dan Ginza. Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotania. Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata. Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu Jadi Orang Indonesia.
            Orang Indonesia pada umumnya kadar malunya sudah menurun, yang khususnya para pemimpin kita seolah-olah tidak rasa malu. Cobalah bayangkan di DPR dulunya pernah ditayang di sebuah televisi  Indonesia salah seorang anggota DPR RI berbuat maksiat di kantornya dengan bawahannya ( wanita ). Orang seperti ini sudah hilang rasa malunya dengan Allah SWT dengan nabi Muhammad SAW, dengan gurunya, dan dengan dirinya sendiri. Maka lahir sebuah ungkapan yang jarang terpikirkan oleh kita, “ Binatang dengan sifat kebinatangannya melahirkan rahmat sedangkan kita dengan sifat kebinatangan melahirkan malapetaka/musibah.
Kesimpulan
            Berdasarkan analisis antologi puisi Karya Taufik Ismail yang berjudul, “ Malu Aku Jadi Orang Indonesia “. Maka kesimpulannya sebagai berikut di bawah ini:
1.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai budaya berpikirnya secara pramatis atau mencari solusi instan atau cepat saji
2.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah sudah mulai menciptakan budaya hidup berhutang setiap warga bangsa dari generasi ke generasi.
3.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai budaya berpikirnya secara distorsy atau penyimpangan makna.
4.      Ada kecenderungan para pemimpin yang didahulukan selangkah saat ini sudah mulai budaya berpikirnya kurang mendorong kepada pihak hukum untuk memprosesnya di hadapan hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Jabrohim (ed), 2014. Teori Penelitian Sastra.
Junus, Umar, 1985. Dari Imajinasi Ke Imajinasi Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. 1985. Jakarta: Gramedia.
Munsi, Alf Danya, 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. 1997. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.



Saling Menghormati dan Saling Memberi pada Orang Melayu


SALING MENGHORMATI DAN SALING MEMBERI PADA ORANG MELAYU RIAU




 PENDAHULUAN
            Orang Melayu Riau mengenal pola saling menghormati dan saling memberi dgn istilah menamam budi, yang bertujuan untuk menanam budi. Tinggi rendah derajat seseorang selalu diukur dari budi yang diberikan kepada orang lain. Semakin banyak menanam budi, kedudukan dan kehormatan sesorang di masyarakat akan semakin tinggi. Bagi orang Melayu. kehalusan dan ketinggian budi pekerti menjadi hal yang utama. Menanam budi tidak hanya berbentuk pemberian materi, tetapi juga dapat berbentuk bantuan tenaga, pemikiran, serta perlakuan dan tutur bahasa yg sopan, dan halus.

2. Ciri- Ciri Kepribadian Orang Melayu
            Ciri-ciri kepribadian orang Melayu ialah watak orang Melayu yg tampak pada umumnya dan terbentuknya watak umum tdk lepas dari tuntutan norma adat-istiadat yg terdapat dalam masyarakat Melayu. Watak yang dilukiskan itu adalah watak yg ideal.
            Adat-istiadat Melayu adalah semua konsep serta aturan-aturan yg mantap dan terintergrasi kuat dalam system budaya orang Melayu yang menata- tindakan –tindakan anggota masyarakat dalam kehidupan social dan kebudayaan. Ciri kepribadian orang Melayu pada umumnya tidak lepas dari orang Melayu melihat dunia sekelilingnya, melihat diri sendiri, kesadaran agamanya, kesadaran terhadap kebudayaan hidup sehari-hari, kesadarannya di tengah-tengah orang lain dan orang asing.
            Dalam mengkaji watak umum kepribadian orang Melayu bahwa ajaran orang tua kepada anaknya, bertujuan agar anak menjadi orang yg selalu sadar diri, tahu diri, tahu diuntung, dan mempunyai harga diri. Keempat inilah yang harus sosialisasikan kepada anak didik agar mental/ watak menjadi lebih baik. Berdasarkan keempat tersebut maka muncullah watak orang Melayu yang kreatif seperti di bawah ini:
1.    Sifat Merendah. Dalam ungkapan dikatakan, “ BERCAKAP BIAR KE BAWAH-BAWAH, MANDI KE HILIR-HILIR. JANGAN BAWA SIFAT AYAM JANTAN TAPI BAWAHLAH SIFAT AYAM BETINA. KALAU PERGI KE RANTAU ORANG
2.    Sifat Pemalu. Sifat pemalu orang Melayu tak mau ditegur, dimaki, dan dicerca dihadapan orang banyak.
3.    Sifat Suka Damai atau Toleransi. Dalam ungkapan dikatakan, “ BIAR RUMAH SEMPIT, TAPI HATI LAPANG”
4.    Sifat Sederhana. Dalam ungkapan berbunyi, “ REZEKI SECUPAK TAK KAN DAPAT JADI SEGANTANG”
5.    Sifat Sentimentil dan Riang
6.    Sifat Mempertahankan Harga Diri. ( Merajuk dan Mengamuk)

3.  Pola Saling Menghormati dan Saling Memberi
            A.  Menanam Budi, Menerima Budi, dan Membalas Budi. Menanam budi artinya melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain. Menanam budi juga disebut juga membuat budi atau menabur budi/ penanam budi. Dalam menanam budi, indikatornya adalah member tanda: “jika ingin member tanda kpd orang berikanlah barang yang terbaik, janganlah memberi barang yg sudah tak terpakai”. Memberi tenaga, Sopan Santun, ( tdk berbicara keras, lewat depan orang tua maka menundukkan badan sambil tangan diarahkan ke depan agak ke bawah, mempersilahakan orang masuk, bersalaman. Tutur bahasa dan tegur sapa. Kunjung mengunjungi. Pinjam-meminjam. Tanda mata. Menjemput makan. Suruh seraya. Mintak pialang. Mintak bagi. Mintak. B. MENERIMA BUDI DAN  MEMBALAS BUDI.

Kesimpulan
            Pola saling menghormati dan saling memberi yang dikenal dengan saling menanam budi masih hidup dalam masyarakat Melayu hingga saat ini. Bahkan kebiasaan itu tidak hanya berlaku untuk orang Melayu saja, tetapi juga untuk suku bangsa lain dan orang asing terutama orang Cina yang sudah lama menetap di daerah ini.
            Orang Melayu mengirim kue-kue buatannya sendiri kepada orang Cina sahabatnya yang sedang merayakan tahun baru. Sebaliknya, orang Cina membalas budi baik itu dgn mengirimkan tepung terigu, telur ayam, mercon, bunga api, dan sebagainya kepada orang Melayu yang sedang merayakan hari raya
            Kebiasaan member dan saling menghormati telah mentradisi yang terjalin dalam hubungan orang Melayu dan orang Cina hingga saat ini. Kebiasaan itu sudah menjadi adat kebiasaan yang meresap dan merupakan salah satu cirri sifat kepribadian orang Melayu orang Melayu. Sifat ini dapat dinilai secara positif maupun negative, tergantung dari sudut pandang mana orang menilainya. Yang lebih penting adalah melalui tulisan ini orang menjadi tahu kebiasaan hidup orang Melayu.

Cerpen " Tukang"


CERPEN
 “ TUKANG “
         
Aku sekarang tersenyum melihat keadaan dunia pendidikan. “ Mengapa demikian”. Kata Pak Ngah. Cobalah dibayangkan anak didik sekarang tidak sama dengan anak didik zaman dulu. Kalau zaman dulu, anak didik dulu pandai menjaga malu. Salah satu contoh bagi orang kampung mengatakan kepada anaknya, apabila pergi ke rumah Mamaknya itu selalu ditanamkan kata yang mengandung moral yaitu, “ Pergilah ke rumah Mamakmu atau ke rumah orang tetapi harus bermalu “. Kalau orang-orang tua sekarang menyuruh anaknya  ke rumah Mamaknya tak usah bermalu. Ini menunjukkan kepada kita bahwa yang satu punya sistem malu apabila berhubungan dengan orang lain dan yang satu tidak mempunyai sistem malu. Bagi orang Melayu, malu merupakan modal dasar dalam kehidupan.
Kata aku menyetujui pendapatmu kemenakan ! Karena kalau tidak mempunyai malu lagi berarti kita sudah tergolong binatang. Sebenarnya binatang sekarang ini lebih sopan dari pada manusia. Padahal binatang hanya dengan insting. Contohnya, sebuas-buasnya harimau tidak mau menerkam orang sembarangan. Karena menangkap orang dengan tidak perhitungan maka harimau tadi akan sulit mencari makan sehari-hari. Harimau sudah menerkam orang maka tujuh lurah, tujuh bukit tidak dapat makan, akhirnya, badan harimau itu mengurus. Kalau buas manusia tak usah dibayangkan lagi, sudah dilalap ini, dilalap lagi yang lain dalam seketika itu.
Gambaran seperti itu Pak Ngah merenung karena kemenakan sangat bijak dalam mengiaskan sesuatu sehingga orang merasa terlibat dalam hal itu. “ Terus saja kemenakan cerita itu!” . Kata Pak Ngah. Aku makin asyik dengan menyindir orang. Karena dengan sindiran, orang pun ikut tersenyum padahal saya menyindir dia. Berarti betapa dangkalnya manusia menerima pesan dari orang. Tapi lucu pula, kalau disindir tak mau tetapi kalau dinyatakan terbuka tak mau pula. Ini pola pikir seperti ini sulit untuk disimak.
Mamak mau mendengar lagi, satu contoh hebat orang dulu, yaitu nabi Muhammad SAW. Dia tidak pernah sekolah tetapi Dia berpendidikan. Malah Dia dijuluki “ Al-quran berjalan “. Maksudnya perilaku nabi Muhammad SAW berbasis nilai-nilai Allah SWT atau Dia melaksanakan apa yan di kehendaki Allah SWT. Kalau kita, kehendak Allah SWT kita tinggalkan tetapi kehendak kita yang lakukan maka pasti menjadi masalah.” Contohnya, disuruh menyebut nama Allah SWT tidak bisa. Maka dituntun oleh Malaikat Jibril berulang-ulang, Dia tetap mengakui Aku bodoh, tak pandai menyebutnya. Akhirnya, dengan mengakui kebodohan atau kelemahan akan melahirkan kebahagian yang luar biasa. Tapi sekarang menyebut nama Allah SWT dalam setiap aktivitas kehidupan jarang melibatkan nama Allah SWT. Aku menengok di sekolah, pada umumnya bagi setiap mengajar jarang dalam proses belajar mengajar tidak menghubungkan dengan Allah swt tentang ilmu yang kita ajarkan itu. Contohnya, yang sederhana saja, “ Kok angka 1- 10 tersebut terseusun dengan sistematis. Jarang kita mengajak anak didik untuk menalar siapakah yang membuat angka itu ? Untuk apa angka tersebut dalam kehidupan ini Nak ? dan bagaimana cara menuliskannya Nak ?”. Apa pun di dunia ini pasti ada pengertiannya, sesudah itu pasti ada prosesnya, dan pasti ada nilai-nilainya maka inilah yang harus ditanamkan kepada anak didik kita.  Kalau pun ada, pada awal masuk saja dan waktu pulang. Padahal dalam kurikulum 2013 dituliskan pada Kompetensi Inti, “ Mengenal Tuhan “. Padahal siapa yang tidak menyebut nama Allah SWT bagi ummat Islam maka dia termasuk orang yang hina di sisi Allah SWT. Karena Allah SWT memberi petunjuk, “ Kalau engkau menjaga Aku, Aku jaga engkau dan kalau engkau sebut nama Aku, Aku sebut pula nama engkau dalam nama Aku.”
Proses ini disebabkan oleh tenaga pendidikan sudah lupa dengan pancang dasarnya sehingga lebih membanggakan baju orang lain daripada bajunya sendiri. Contohya sekarang bahasa Indonesia hampir punah oleh bahasa Inggris. Tandanya dilihat dari tulisannya, ucapannya kurang semangat menggemakan bahasa Indonesia. Tugas guru itu pada hakikatnya adalah menyampaikan kebenaran Allah SWT melalui disiplin ilmu yang diampunya. Anak didik kurang mendapat tunjuk ajar yang wajar karena guru pada umumnya kecenderungan kurang mengerti tentang konsep tunjuk ajar. “ Mau tahu Pak Ngah “ kata saya. “ Mau kemenakan!”. “ Tunjuk yang benar, ajar yang pantas. Maksudnya, yang benar itu adalah Allah SWT dan yang pantas adalah ilmu yang diberikan kepada anak didik itu mempunyai asas manfaat. Cobalah bayangkan Pak Ngah ! Orang yang baik adalah orang mengandung keuntungan bagi kehidupan bangsanya “.
Kata Aku “ Guru –guru sekarang seolah-olah lebih diatur oleh siswanya. Karena pengaruh hasil pemikiran manusia”. Pak Ngah bertanya lagi kepada saya, “ Aku kurang mengerti dengan ucapan kemenakan, mohon dijelaskan”. Maksudnya, peraturan yang sudah disepakati tetapi tidak dijalankan dengan baik. Padahal ungkapan zaman dulu adalah “ Manusia tahan kias, binatang tahan palu. Budaya orang sekarang mendewakan hasil pemikirannya sehingga hasil tindak tanduknya selalu melahirkan kekasaran, kekejaman, kesadisan, kemarahan, dan kesedihan.
Tidak juga paham Pak Ngah, berarti Pak Ngah sebenarnya idak lain bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan. Zaman sekarang, banyak orang bersekolah tapi tidak berpendidikan. Dalam ungkapan dikatakan, “ Kalau orang sudah tentu menjadi sarjana tetapi sarjana belum tentu menjadi orang”. Tengok Nabi kita, tidak menempuh sekolah tetapi Dia berpendidikan atau bermoral/berakhlak mulia. Buktinya, waktu mendapat petunjuk Iqro, Dia mengakui , “ Saya bodoh Jibril “. Dengan berulang kali kata itu diucapkan  Dengan modal jujur mengakui kebodohan saja dengan dasar ikhlas maka dapat masuk surga. Jangan surga malahan jiwa menjadi tenang dan riski murah serta dosa dihapuskan selebar bumi dan langit. Seperti nabi Adam, nabi Yunus.
Pak Ngah ! “ Pendidikan seperti ini agak langka zaman sekarang “. Kata saya. Orang zaman sekarang memandang dunia ke atas, memandang akhirat ke bawah. Lebih banyak memikirkan dunia daripada memikirkan alam menuju kematian. Di sekolah hari ini, anak didik dijejal dengan ujian pilhan berganda, pekerjaan rumah, tugas-tugas, dll. Buruk baik seseorang siswa di masyrakat bergantung kepada para pendidik yang di tempa di sekolah. “ Kalau guru kencing berdiri berarti siswa kencing berlari “. Anak- anak sekarang leboh banyak bermain di sekolah daripada di masyarakat. Lihat saja pulang sekolah saja pukul 4.00 WIB sampai di rumah sudah Magrib  berarti anak itu tidak sholat Ashar rata-rata. Sebab pendidikan itu adalah contoh/tauladan bukan menuangkan ilmu pengetahuan secara langsung.
Kata Allah SWT, “ Selalu mengakui kebodohan atau kelemahan, atau kesalahan dan selalu berzikir maka akan diampunkan dosa serta rezki dimurahkan tanpa diduga-duga oleh sang penerimanya. Celaka anak didik bukanlah semata-mata disebabkan oleh anak didik itu sendiri tetapi disebabkan oleh orang tuanya dan oleh lembaga yang mendidiknya. Maka Pak Ngah kurang paham kan ! Apa lagi di sekolah laporan saja yang mantap tetapi kelakuan anak tidak berubah. “ Itulah potret tunjuk ajar dalam dunia pendidikan Pak Ngah” . Kata saya.
Guru yang saya lihat dalam mengajar ada dua model, yaitu ada guru sebagai tukang dan guru sebagai seni/ intelektualitas. “ Pak Ngah hari ini, saya mengira kurang tahu apa maksudnya”. Marilah saya jelaskan ! “ guru sebagai tukang adalah guru yang mencurahkan kemampuannya secara sadar berdasarkan pengupahan barulah dia bersemangat dalam menganjar. Sedangkan guru yang bersifat seni adalah guru yang mencurahkan kemampuan secara sadar berdasarkan niat yang keluar dari lubuk hatinya sehingga dia tidak mengukur hasil karyanya hanya melalui pengupahan maka dalam proses mengajar menjadi lebih menyenangkan”. Saya contohkan kepada tukang. Tukang itu, ada tukang kayu, tukang baju, tukang bangunan, tukang sumur. Kalau kita mau menjahit baju umpamanya, langkah pertama kita siapkan adalah bahan baju tersebut. Sesampai ke tukang pasti kita berdialog dengan tukang jahit. “ Pak tukang saya mau menjahit baju, modelnya seperti baju teluk belanga. Tukang jahit menjawab kalau model ini mau Anda maka dia menjawab model seperti ini memakan waktu lama dan harga agak mahal. Si pengupah memaksa juga, tolonglah Pak. Boleh saya kerjakan tetapi Ibu sanggup nggak membayarnya, upahnya mahal, “ berapa Pak ! Rp110000” . Maka si tukang baru lah mau bekerja itu kalau sudah ditetapkan atau setuju terhadap perjanjian tadi.
Maksudnya, dari cerita ini Pak Ngah ! Kalau kita beranalogi yaitu kedua-keduanya mempunyai sifat yang sama dengan guru yang mengajar di sekolah. Pada hakikatnya, tukang itu baru bekerja kalau sudah ditetapkan harganya sedangkan guru begitu juga sudah tahu upahnya barulah dia memulainya.
Mnurut saya, “ Pekarjaan seperti akan melahirkan hasil pekerjaannya yang pertama harga mahal, kedua hasil kerja kasar sehingga hasilnya jarang memenuhi permintaan pelanggan malahan pelanggan tetap mengoceh/kecewa tapi bagaimanalah karena perjanjian sudah dibuat, jadi mengerutu atau makan hati. Begitu pula guru, banyak siswa yang mengerutu melihat guru yang mengajar tidak dapat siswa berkreatif, inovatif dalam mengembangkan potensi budayanya karena guru pada umumnya guru mengajar baru bersemangat pada awal bulan saja itu pun bergaya menoton bukan menonton.”
Guru hari ini kecenderungan lebih bersifat menunggu buku paket dari Jakarta diorbitkan ke daerah masing-masing  barulah dapat mengajar. Padahal Diknas sudah menetapkan tema-tema masing – masing mata pelajaran. Tinggal lagi guru yang merincinya sampai menjadi RPP. “ Kalau ada yang bisa ini kemungkinan langka “. Yang banyak hanya poto copy paste. Jadi, guru seperti ini jangan dianggap propesional atau ahli di bidanngya tetapi membuat sistem pembodohan terhadap siswa. Inilah yang disebut guru sebagai tukang. Contohnya, kata Menteri Pendidikan mengatakan, “ Tidak boleh guru menjual buku di sekolah”. Kata guru, “ Mengapa guru tidak boleh menjual buku nanti siswa bagaimana belajarnya, kita menolong siswa”, Cobalah dibayangkan Pak Ngah, “ tidak pandai/tidak bijak memaknai apa yang diucapkan Pak Menteri . Padahal, “ Pak Menteri mengucapakan itu tujuannya agar guru hanya mengajar dan mendidik, bukan mengajar dan mendidik sambil meminta tagihan uang buku diwaktu mengajar karena jam mengajar hanya satu jam ( 45 menit). Dari siswa bagi yang tidal melunasinya akan malu dengan temannya. Jadi, belajar diisi dengan membahasa utang piutang bukan membahas tema-tema pada jam yang ditentukan”.
Kalau menolong siswa cukup saja menginformasikan kepada siswa menunjukkan judul buku saja, suruh saja siswa pergi kepustakaan komersial seperti toko buku Gramedia, Trimedia yang ada di kota kita masing-masing. Kadang-kadang guru ada yang menjawab bahwa “ Ini tidak ada dijual di toko “. Agar anak didik membelinya dengan dia. Kalau dalam sistem ekonomi adalah gaya monopoli, menurut agama sistem seperti ini adalah tidak tepat malah mendapat siksaan dari Allah SWT. Pakailah sistem ekonomi gaya Muhammad SAW ( Rasul kita ), yaitu jujur atau cara mengajar dan mendidik gaya Muhammad SAW yang dapat melahirkan jiwa yang tenang, dan menyenangkan malahan dekat dengan Sang Pencipta kita, yaitu Allah SWT.” Mengajar yang tidak berbasiskan kepada Allah SWT dlam proses berlangsung tidak bernilai sama sekali alias mubazir. Kan sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional”.